BERMIMPILAH !

DAN PADA BAYANG-BAYANG YANG JATUH DI SELASAR SAAT HUJAN..
PADA DIRIKULAH, AKU TERBANG..
MENGEMBANGKAN SAYAP PEMBERIAN..
MENDAKI KEDALAMAN, BERTARUNG DENGAN MALAPETAKA..
AKULAH, SEORANG BIASA..
DENGAN MIMPI-MIMPI DI LUAR BATAS KEPALA..

21 Okt 2011

MASIH MENUNGGU

14 OKTOBER 2011,
Kira-kira pukul 20:47,

Seorang lelaki tegap menyalaminya, “ Selamat ya Mbak, penbacaan Undang-Undang Dasar tadi sangat bagus.” Begitu katanya…

Aku hanya melihat dari jarak tidak kurang dari tiga meter saja. Dan pikiran pertama yang ada di otakku adalah, aku menginginkan perhatiannya di sekolah!
Dan yang dijabat tangannya itu adalah musuhku di kelas. Sial. Kapan aku akan dijabat olehnya? Mungkin di atas panggung saat aku wisuda? Atau di kelas saat aku berhasil memukaunya?
Badannya tegap, usia sekitar empat puluh tahun, namun jalannya semacam prajurit Jepang yang akan mendapat libur dua minggu di Hawaii, cepat-tegap-bersemangat, cerdas, menarik, dan suaranya menyenangkan untuk didengarkan. Aku benar-benar menginginkan perhatiannya.
Beliau, guruku.

“Kalian adalah biskuit kecil dengan rasa yang besar. Kecil tapi meledak!” beliau menasihati kami, oh tidak! Beliau memberikan setengah jiwanya untuk kami. Atau lebih tepatnya mengembangkan jiwa kami yang berserakan. Salah! Jiwa teman-temanku yang patah hati karena begitu banyak mata yang menusuk mereka dengan kata-kata pedas cabai rawit seperti, “Kenapa di kelas kalian yang masuk hanya setengah dari jumlah murid? Hahaha..”, atau “Kalian pasti akan kesulitan mencari pekerjaan atau PTN saat lulus nanti”, atau “Kenapa kalian masuk kelas ini?” ditambahi sedikit nada sinis manis. Aku hanya menatap wajah tegar bapak di depanku kemudian berkeliling mata melihat wajah teman-teman sekelas yang keruh. Kenapa aku sendiri yang tidak merasa patah hati? Karena aku menemukan cintaku disini, bahasalah definisi cinta yang aku serap selama ini. Hampir enam belas tahun aku menjelajah udara dengan berbagai macam pandangan, namun hanya di kelas kecil ini aku merasa hidup dan merasa luas. Merasa tidak ada lagi wadah untuk menaruh hayalanku yang menggila. Aku masih menatap beliau dengan tatapan perhatikan-aku-saja!
Aku masuk bahasa karena…
1. aku menginginkannya.
2. aku benar-benar menginginkannya
3. aku hanya menginginkannya.
Tidak ada alasan khusus, hanya karena aku mencintainya saja. Hanya karena aku menginginkannya mewarnai diriku dengan kelabu atau hitam pudar saja. Hanya karena cinta tanpa alasan itulah cinta yang sesungguhnya, aku pada bahasa. Karena dengan bahasa berarti aku siap memulai kaki menjadi kapalan, berdarah-darah, bahkan habis sama sekali. Dan aku siap membudakkan hatiku pada tulisan yang berteriak atau mulut bisu yang mengaum. Dan aku siap untuk diperhatikan olehnya.

“Selamat Mbak, Anda mendapat peringkat ketiga se-kabupaten.” Beliau memandangku. Baiklah aku senang, tapi tidak menyalamiku seperti saat aku kelas satu dulu. Saat menjadi petugas upacara. Saat aku menjadi protokol dan musuhku menjadi pembaca Undang-Undang, dialah yang disalaminya bukan aku.

“Selamat Mbak, cerpen Anda masuk majalah sekolah.” Beberapa waktu berlalu, dan beliau masih saja belum menyalamiku.
“Selamat Mbak, karena nilai Anda bagus saya akan memberikan beberapa buku untuk Anda.” Dan masih saja tangannya yang sering menuliskan ilmu baru untukku belum mendatangi tanganku untuk saling menjabat.

Beberapa kali aku mendapat ucapan selamat dari bapakku ini. Orang yang dapat menganekdotkan tragedi. Bapak yang membakarku dengan kebaikan sampai pada tulang, yang memandangku dengan kasih sayang, yang menyindirku dengan “ Sudah baca buku ini? Atau ini? Atau ini?”

Dan malam itu, tanggal 14 oktober 2011, untuk pertama kalinya egoisku mencapai ubun-ubun, untuk pertama kalinya aku patah hati olehnya, dalam bahasa aku mengalaminya, yang kuanggap sebagai surga cinta dan bayanganku tentang ketulusan…
“Saat diklat OSIS, dia saya coba untuk berimprovisasi. Saya beri pengarahan sedikit. Dan hasilnya luar biasa sekali. Dia bisa membuat peserta diklat menangis, kami seperti memiliki koneksi, apa yang harus kami lakukan, apa yang harus dia lakukan. Dia juga sudah mahir menjadi MC. Kalau saja saya masih muda, melihat wanita seperti dia, yang hebat, saya pasti jatuh cinta.”
Dheg!
Hatiku luruh, panas, dan melebur bersama angin yang sengaja lewat.
Apa aku kurang hebat? Tentu saja.
Apa aku kurang luar biasa? Pasti!!
Apa aku tidak menarik? Apa hubungannya?
Apa ?

Padahal aku hanya menginginkan perhatiannya, aku menginginkan jabatan tangannya suatu hari nanti. Benar-benar memimpikan kehebatan anak bahasa untuk sementara mengidap dalam diriku, menginap untuk membuat bapakku ini memperhatikanku saja!
Aku memang egois, dan memang patah hati. Ternyata aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku mengingat bagaimana bapakku berjalan dengan tegap tanpa cacat, bagaimana caranya tertawa yang membuatku ikut dalam arus parodi, bagaimana ia mungkin menangis dalam hati saat aku dan kawan-kawan harus merasakan kisah anak tiri dalam kehidupan pendidikan kami.

Beliau satu-satunya guru yang membuatku meneteskan butiran hangat di malam itu. Tidak tahu untuk alasan apa aku menginginkan perhatiannya dan jabatan tangannya. Begitulah kasih yang sesungguhnya, tidak beralasan. Begitulah caranya menyayangiku dalam setiap ilmu yang ditularkannya pada kami, padaku. Begitu memang cara beliau menginginkan kami menjadi sesuatu, menjadi apa yang kami inginkan. Dan aku HARUS menjadi seseorang yang luar biasa untuk mendapat jabatan tangannya yang baik. Aku HARUS menjadi berlian yang bersinar dan menyinari batuan cadas di mana aku berada.
Aku yakin aku memang berlian yang harus beliau asah, setelah tahu bagaimana mamulainya, aku akan melanjutkan. Aku akan mengasah diriku sendiri. Aku akan pergi kemana aku menginginkannya. Prancis, ya aku HARUS kesana. Namun aku akan membuat beliau mengingatku sebagai siswa ter … apa ya? Aku belum memikirkannya. Mungkin siswa tereksotis atau siswa teregois atau bisa juga siswa terkonyol (tidak mungkin), bisa jadi aku menjadi siswa teraneh.
Tidak apa-apa.
Terimakasih bapak, saya masih menunggu jabatan tangan anda. Dan mata anda yang sayu itu untuk melihat keberhasilan saya…

Memang membutuhkan jalan
Bertelekan miring ke kanan
Bapak dengan tawa enak didengar
Silakann menjabat tangan
Telah ku patahkan hati melihat bapak melihat langit lain
Dan pada akhirnya aku menyambungnya lagi.
Aku memang bukan siapa-siapa
Aku hanya jiwa di balik kerudung dan kaca
Di belakang tabir muda.
Kisah-kisah Cinderella
Yang ingin kusadur dalam kehidupan
Bukan pada kejamnya mamak tiri
Bukan sepatu sebelah yang tertinggal
Aku menginginkan perhatian !
Aku sungguh berharap akan adanya lampu yang tembus ke arahku
Menunjuk tepat padaku
Dan lampu itulah lampu darimu…
Aku masih menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar