BERMIMPILAH !

DAN PADA BAYANG-BAYANG YANG JATUH DI SELASAR SAAT HUJAN..
PADA DIRIKULAH, AKU TERBANG..
MENGEMBANGKAN SAYAP PEMBERIAN..
MENDAKI KEDALAMAN, BERTARUNG DENGAN MALAPETAKA..
AKULAH, SEORANG BIASA..
DENGAN MIMPI-MIMPI DI LUAR BATAS KEPALA..

19 Jul 2011

Senyum Abadi Ayah

Alicia memandang keluar. Tepatnya ke arah segerombolan cowok-cowok urakan bertampang mupeng-muka pengen-dan berotak beku karena sepertinya isi batok kepala mereka sudah tersimpan dalam freezer selama lebih dari seabad. Al, panggila Alicia, menatap mereka dengan pandangan yang tampak rumit. Antara jijik, kesal, sedih, dan beberapa rasa lain yang bercampur menjadi satu. Dengan segera mengurangi nafsu makannya siang itu, yang ia rencakan sendiri dengan mendadak di sebuah resto sederhana langganannya.
Cowok-cowok yang tidak lebih dari 10 orang itu benar-benar menyita perhatian Al. Sampai ia bertahan selama 20 menit terakhir hanya untuk memperhatikan mereka. Apa yang dilakukan cowok-cowok serampangan itu? Simpel saja. Tapi kesederhanaan itu seakan menampar Al telak. Ia terjengkang di sudut penyesalan. Mereka menggoda, bersiul genit, bahkan mencolek tubuh-tubuh wanita yang simpang siur di hadapan mereka.
“Apakah aku dulu seperti wanita-wanita itu? Dan hanya diam daja?” serunya tak percaya.
Dia menggali memorinya sendiri dengan liar, tanpa memikirkan kembali apa yang telah ia tinggal di belakang. Kelebat suram menjelajah mata batinnya. Mengingatkan ia akan banyak noda dalam kehidupannya yang berbackground putih. Saat Al memakai tank top berbagai warna, saat Al memilih celana super duper pendek yang jika dipakai adik balitanya pasti akan pas sekali, atau saat Al membiarkan bahkan menikmati mata-mata belang lelaki berhidung dan berotak belang memandangi dirinya dengan wajah memuja.
Al muak! Kepada dirinya sendiri. Yang jika dilihat dari kacamata Tuhan Al tidak lebih dari seorang pelacur tanpa pelanggan. Tidak mendapat keuntungan apapun dari zina yang ditebarnya selama ini. Ia hanya memanen dosa. Ia hanyalah wanita tanpa harga. Dan bahkan jika ia diberikan kepada seorang lelaki muslim yang taat, tanpa biaya sepeserpun, maka yang ia dapatkan hanya sebuah penolakan.
“Cewek, kamu sexy banget sih! Mau tidak jadi pacarku?” lelaki berambut cepak mengambil suaranya entah darimana. Al seperti ditampar lagi, keras. Ia menghadapkan tubuhnya yang lemas untuk memperhatikan mereka sekali lagi.
“Jangan sombong dong sayang. Kita ke bar nanti malam yuk.” Goda yang satunya. Teman-teman mereka hanya tersenyum menunjukkan kepala mereka yang tiba-tiba bertanduk. Menyala merah. Menjijikkan.
“iya. Kita ke bar La Vu saja nanti malam. Kalau bisa ajak teman-temanmu. Kita traktir. Jangan khawatir.” Si Cepak mengerlingkan mata kepada wanita yang sedari tadi digoda mereka. Sepertinya mata itu sudah terlalu banyak kemasukan debu-debu dosa. Membuat penggunanya merasa dengan mengerling setiap 7 detik sekali maka debu-debu itu akan berguguran begitu saja.
Al tertunduk. Air mata menyembul dari bukit matanya yang redup tanpa bisa ia tahan oleh sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya. Perasaan bersalah seakan menekannya begitu kuat. Sampai nafasnya hanya satu dua , itupun dengan paksaan. Dosa-dosa yang menyelimuti hidupnya kini mendekap jantungnya dari luar. Membelahnya menjadi dua bagian yang tidak bisa disambung lagi. Senyum yang biasa menemani harinya tak muncul. Musnah sudah.
Matanya menangkap adegan dua jam lalu.
“nduk, duduk sini nak.” Ayah Al yang sudah berusia 50 tahun menunjuk spring bed single milik Al. Sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan. Dan penting.
“Ada apa yah?” Al bingung. Apakah ia melakukan kesalahan? Sampai Ayah meluangkan jam kerjanya untuk berbicara berdua.
“Ayah ingi satu hal darimu. Ayah harus cepat karena Ayah hanya ijin 20 menit di kantor.” Ayah Al memulai. Wajahnya datar saja.
“Apa Yah? Kalau Al bisa kenapa tidak? Tapi Ayah harus mengingat ini. Satu hal yang tidak mungkin Al lakukan adalah memakai jilbab. Memakai jilbab itu gerah, tidak stylish, dan akan menghambat karir Al sebagai model yang baru diorbitkan. Aku mau kehidupanku. Aku mau bebas sekarang. Ayah sudah terlalu banyak mengambil bagian yang harusnya ku kerjakan sendiri. Ayah mengambil paksa pilihanku dan menggantinya dengan pilihan ayah yang kolot dan sok agamis. Ya ampun . . .” Nada Al menanjak seperti bukit. Al menarik nafas sebanyak-banyaknya. Dia hampir mati saat berbicara tadi. Bagamana tidak? Ia berbicara seperti bus travel saja. Menabrak segala macam benda di depannya, cepat, dan tanpa pikir panjang.
“Ya Allah, tega sekali kau berbicara seperti itu kepada ayahmu sendiri? Kemana semua akhlak yang aku selipkan di hari-harimu? Kemana anakku yang ku banggakan? Bahkan Ayah belum mengatakan sesuatu, kau sudah berbicara sebegitu banyaknya. Tidak patut sekali. Tiada hak kau berbicara selancang itu Alicia Zahra Darmawan Pandu!” Ayahnya muntab.
“Memang itu yang akan aku bicarakan. Yang aku inginkan. Aku memintamu untuk memakai jilbab. Tetapi jika kau merasa sudah mampu memandu jalanmu sendiri dan tidak mau menuruti omonganku yang kau anggap serbet dapur. Keluar kau dari sini. KELUAR!!!”
Dan Al pergi dari rumah..
Dan sekarang ia kembali menjejak kenyataan.
Apa yang sudah ia perbuat? Ia anak durhaka. DURHAKA... DURHAKA... DURHAKA...
Kata-kata itu mengiringinya menuju sebuah toko baju. Dengan air mata masih tersisa, ia meminta si penjaga toko untuk memilihkan baju yang sekiranya cocok untuk dirinya. Dengan agak bingung penjaga toko mengiyakan saja. Membawakan satu stel baju dan beberapa helai kain cantik untuk dicoba Al. Setelah memakainya, Al tidak melepas baju itu. Dia dengan raut wajah tak mau diganggu membayar kontan dan keluar. Menaiki taksi.
Mengejar waktu dan mengejar ayahnya dengan baju gamis warna putih bersih, lengkap dengan jilbab besar menutupi dada. Dia benar-benar cantik. Tidak ada bagian tubuhnya yang bisa dilihat makhluk lain kecuali telapak tangan dan wajahnya yang terlihat kuyu namun memendam semangat terakhir.
Sampailah ia dirumah.
Dan yang terpampang di depan matanya adalah bendera kuning kusam. Sekusam suasana rumahnya. Ia berlari sekuat tenaga. Semua yang menghalangi langkahnya ditebas dengan teriakan lengking dari mulut Al, dibebaskan dengan gapai tangannya yang menjadi-jadi. Perasaannya berkata sesuatu yang buruk akan menyambutnya di dalam.
Benar.
Ayahnya meninggalkannya. Selamanya.
“Sabar ya Non, bapak terkena serangan jantung setelah Non pergi. Dan beliau langsung meninggal. Bibi tadi sudah telepon Non sampai puluhan kali, tapi tidak di angkat. Ikhlaskan kepergian bapak.” Pembantunya yang renta, Bi Karsih, memeluknya erat.
AKU PEMBUNUH AYAHKU SENDIRI.
Al berteriak frustasi. Memeluk ayahnya seakan ia tidak akan pernah rela ayahnya pergi begitu saja. Ia harus ikut kemanapun ayahnya pergi. Perasaannya tidak bisa dilukiskan. Benar-benar tidak ada kata, kalimat, lukisan, grafiti, karikatur, bahkan ekspresi wajah untuk menunjukkan bagaimana dirinya kini. Yang putus asa dan sebentar lagi gila karena kebodohannya. Karena durhakanya.
Namun Al tiba-tiba terdiam. Benar-benar diam. Mulut ayahnya yang sedari tadi diam kaku sekarang tertarik ke kanan dan kiri, membentuk senyum. Al bingung. Dirabanya pergelangan tangan ayahnya yang dingin. Nihil. Beliau benar-benar meninggal. Tapi bagaiman bisa ada senyum ?
Al dan jilbabnya yang membentuk senyum abadi ayahnya.

Rosandra,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar