BERMIMPILAH !

DAN PADA BAYANG-BAYANG YANG JATUH DI SELASAR SAAT HUJAN..
PADA DIRIKULAH, AKU TERBANG..
MENGEMBANGKAN SAYAP PEMBERIAN..
MENDAKI KEDALAMAN, BERTARUNG DENGAN MALAPETAKA..
AKULAH, SEORANG BIASA..
DENGAN MIMPI-MIMPI DI LUAR BATAS KEPALA..

19 Jul 2011

BEGINILAH WAKTU MENJAWAB

Aku mulai bergumul dengan buku-buku penuh rumus. Mencoba bersaing melawan malam yang mengganggu konsentrasi, menciptakan aroma dingin menggigit. Kurasa malam ini adalah salah satu malam yang ingin mematahkan semangatku. Membakar apa yang sudah aku kumpulkan dengan keringat dan darah segar. Ya mungkin aku berlebihan, tetapi jika seseorang berada di posisiku, mereka mungkin akan menganalogikannya lebih hiper lagi, neraka.
Aku memasang telinga lebih tajam dari biasanya, kuusahakan gerakan semut bertengkar pun akan ku dengar. Aku meraih jam kuno di depanku, memastikan waktu. Sudah 10 menit dan tidak ada suara apapun dari luar. Wow! Aku pikir ini sebuah kemajuan yang seharusnya mendapat apresiasi, semacam tari samba atau piagam dari menteri. Kuusap peluh yang mengalir di pelipis, malam menjadi agak panas secara tiba-tiba. Sepertinya sang penguasa gelap mempermainkan aku. Membuat suasana terasa berubah-ubah dengan kecepatan yang mengagumkan. Aku berkonsentrasi lagi ke buku matematika, mencoba bertahan menghafal dan praktek ringan dengan mengerjakan sebagian soal.
Saat pikiranku semakin terendam ke segala tetek bengek tentang matematika dan ribuan rumusnya, pikiranku mendadak mengerem tajam...
“Baru pulang jam segini! Darimana saja Pak? Apa Bapak pikir ini rumah punya Bapak??” Ibu, berpidato di ruang keluarga. Seperti biasa.
Hening. Kutaksir bapak hanya diam. Memastikan mentalnya siap dihajar lagi.
“Pasti dari ngopi di warung depan kompleks ya? Bapak pikir dengan ngopi bisa dapat uang apa? Mikir dong pakai otak. Kalau Bapak kerjanya cuma ngopi dan tidak banting tulang apa sanggup kita bayar biaya hidup kita! Kita butuh makan Pak! Kepala rumah tangga kok tidak bertanggung jawab begitu.”
Hening.
Tidak terasa pensil di tanganku kuremas, kepalaku tertunduk di atas meja lamaku.
“Hei, apa Bapak kira Ibu suka jadi istri laki-laki yang bisanya cuma menyusahkan saja? Ibu itu setiap hari kerja, hutang dimana-mana, tidak peduli siang malam terus saja kerja sampai rasanya sakit semua. Lahir batin Pak, sakit sekali. Nah Bapak malah pengangguran tidak jelas seperti ini.” Ibu mulai meninggikan volumenya. Tidak sabaran melihat bapak hanya diam saja. Dan saat seperti ini hatiku yang tadinya dipenuhi semangat belajar, kadarnya turun dengan kecepatan maksimum. Aku memejamkan mata dengan paksa. Sesak sekali rasanya dadaku yang sudah penuh tekanan. Minggu depan aku akan mengahadapi mimpi buruk hampir semua pelajar Indonesia tingkat akhir, Ujian Nasional. Dan disaat mentalku diuji di sekolah ternyata Tuhan berpikir untuk menambahi PR untuk dibawa pulang, PR tantangan mental. Tamparan panas yang menghantam hati dan jiwaku. Tuhan berpikir aku adalah salah satu siswa yang membutuhkan beberapa pelajaran tambahan (kehidupan) di rumah. Disaat teman-teman sekelas bercerita tentang bagaimana ayah bunda mereka berebutan memberi kasih sayang dan perhatian lebih untuk membuat buah hatinya tenang melangkah maju ke arah masa depan yang menjanjikan, aku hanya bisa tersenyum tipis dan pindah ke sudut untuk menahan airmata agar tetap berada di tempatnya, mengingat bagaimana keadaan rumah yang lebih mirip dengan sarang singa. Dengan seorang gadis berumur tidak lebih dari 17 tahun yang keras kepala, seorang kepala rumah tangga yang pendiam tanpa penghasilan dan ringan tangan serta Ibu dengan temperamen buruk yang bekerja siang malam dan memamerkannya untuk mendapat demonstrasi rasa terimakasih dari penghuni lain. Tidak ada kasih sayang, jika kasih sayang diibaratkan dengan pelukan hangat orangtua atau doa-doa yang mereka panjatkan demi anaknya. Rutinitas mereka lebih mengarah pada pertengkaran yang bahkan sudah memiliki jadwal tetap. Pagi saat sarapan, siang saat aku baru pulang kerumah, dan malam saat aku akan belajar. Mengganggu? Sangat. Aku mereka anggap sudah mati sejak bapak di PHK tiga tahun lalu. Aku mereka anggap sudah menjadi bangkai saat ibu mulai bekerja dengan intensitas mengerikan. Uang ibu bukanlah untuk biaya sekolahku! Aku mendapat beasiswa di SMA. Sedangkan untuk keperluan yang tidak ditanggung sekolah, aku harus menutupinya dengan bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko dirumah guruku yang baik hati, Bu Indah, dari siang sampai malam. Saat malam tiba, pukul tujuh tepat aku akan memulai ritual belajar dengan teriakan ibu dan tamparan bapak kepadanya. Itulah back soundku selama ini. Sempurnalah kegilaanku.
“Ampun Pak! AMPUN!!” sepertinya drama mereka berdua sudah lengkap, bapak menghajar ibu dengan tangannya sendiri sedangkan aku melengkapi dramaku dengan tertelungkup di atas meja belajar, menangis sampai tengah malam. Melupakan matematika.


Aku melewati koridor sekolah dengan langkah tergesa-gesa. Memastikan untuk memasuki kelas tepat pada waktunya. Aku bangun kesiangan. Saat aku membuka mata, ku lihat jam dinding kusam yang dengan senang hati berkutat di angka 6 dan 12. Bapak ibu sudah pergi entah kemana. Seperti biasa melupakanku begitu saja. Melakukan segala ritual pagi yang serba buru-buru akhirnya aku sampai di sekolah dengan berlari marathon. Kenapa berlari? Karena sudah jelas aku tidak memiliki uang sepeser pun, bahkan hanya untuk naik bus yang dibandrol seribu perak. Kenapa tidak punya uang? Karena sudah jelas bapak ibu tidak peduli aku sekolah atau tidak. Dan sekarang adalah tanggal tua yang menandakan gajiku sudah habis di awal bulan. Melegakan sekali. Seperti biasa.
“Nduk, bagaimana keadaanmu?” suara lembut itu memasuki telingaku perlahan. Aku membalikkan badan. Bu Indah.
“Oh Ibu, Alhamdulillah baik Bu. Ibu sendiri bagaimana?”
“Ibu juga baik. Nak, apa kamu membutuhkan sesuatu untuk persiapan ujian nasional? Kalau ada yang kamu butuhkan bilang ibu ya. Insyaallah akan ibu siapkan.” Bu Indah memamerkan senyumnya yang menenangkan. Aku terhenyak. Bu Indah bahkan lebih mirip sosok seorang ibu, meskipun ia masih gadis daripada seorang wanita mengerikan dirumah.
“Oh iya, ibu ingin menyampaikan kabar baik untuk kamu. Kamu diterima di PTN Jogja, gratis Nak. Seleksi yang kamu ikuti tiga bulan lalu itu sudah diumumkan kemarin siang.” Bu Indah memelukku yang terdiam, tidak menunjukkan reaksi apapun. Atau lebih tepatnya terlalu bingung untuk menunjukkan reaksiku. “Selamat ya. Ibu ikut senang akhirnya kamu bisa melanjutkan kuliah.”
Aku terharu. Usahaku selama ini membuahkan hasil. Aku tidak perlu bingung memikirkan biaya lagi untuk kuliah mengingat keadaan di rumah.
“Untuk hari ini kamu bebas di rumah. Libur kerja sampai ujian nasional. Oke? Dan jangan lupa sampaikan pada orangtuamu tentang beasiswa ini supaya mereka tahu.” Bu Indah melangkah pergi. Sedangkan aku yang seharusnya berlari menuju kelas hanya diam di tempat. Memikirkan aku harus berbicara dengan dua penghuni rumah membuatku merinding. Lebih baik dianggap sudah menjadi makanan cacing di dalam liang lahat daripada harus berbicara dengan mereka berdua. Mati aku!
Hampir seminggu aku merahasiakan beasiswaku dari bapak dan ibu. Setiap aku akan menyampaikan kabar gembira ini, mentalku serasa menciut seukuran kotoran kuku bayi. Aku terlalu kalut untuk berbicara dengan mereka berdua. Mereka bukanlah orangtuaku yang dulu. Mereka selalu terlihat lebih asing dari seorang teman baru. Mereka terasa jauh untuk digapai dan terlalu menyakitkan untuk dibuka.
Namun malam ini aku harus berbicara dengan mereka berdua atau tidak sama sekali, karena besok aku sudah menjalani ujian akhir. Aku tidak ingin konsentrasiku buyar hanya gara-gara aku terlalu bodoh bersembunyi dari kabar gembira yang seharusnya aku sampaikan kepada bapak ibu. Malam yang biasanya aku gunakan untuk belajar dengan keributan sebagai latarnya sedikit aku ubah. Aku akan menunggu bapak ibu berkumpul sebelum kami mulai adegan berbahaya ini. Aku berharap dengan berita ini akan sedikit melunakkan hati mereka berdua yang telah berubah menjadi batu karang di lepas pantai.
Pukul tujuh tepat mereka berdua berada satu ruangan denganku. Inilah waktunya!
Ehm.. ehm..
“Buk, Pak, saya ingin membicarakan sesuatu. Sebentar saja.” Wow! Luar biasa formalnya. Jika seseorang mendengarnya dari luar pasti mereka pikir di dalam rumahku sedang diadakan semacam rapat kampung atau sidang paripurna. Aku menelan ludah dengan susah payah.
Bapak memulai ritual merokok dan duduk di kursi goyang sembari membaca koran lama, sedangkan ibuku malah menonton sinetron dengan volume yang sebenarnya lebih diperuntukkan bagi tunarungu. Tak ada tanggapan. Kurasa ini jauh lebih baik.
“Saya mendapat beasiswa di PTN Jogja untuk melanjutkan studi saya. Saya meminta ijin dan restu kepada Bapak dan Ibu agar segalanya lancar. Tanggal 29 Juli kemungkunan saya sudah harus berangkat ke Jogja untuk kuliah.”
Dua menit kemudian hanya hening yang menjadi pembicara.
“Kau tidak kuijinkan kemanapun setelah lulus. Kau akan kunikahkan dengan anak juragan tempe di seberang pasar minggu. Dia kaya kalau kau mau tahu, kupikir itu yang terbaik buatmu.” Tiba-tiba bapak memulai bagiannya dengan blak-blakan dan terkesan tidak peduli. Sepertinya dia lebih menginginkanku segera mangkat dari rumah serta tidak menjadi beban mereka berdua. Aku seperti dijejali ribuan hari penuh kekecewaan yang telah mereka tanamkan selama mengacuhkanku, menganggapku sudah mati. Aku menelan ludah untuk yang kesekian kalinya.
“Ibu setuju dengan Bapak. Nama anaknya juragan tempe itu Udin kan, Pak? Dia kemarin sudah kesini bersama bapak ibunya, Tanya tentang kamu. Rejeki itu ya Pak. Daripada kamu disini bikin rusuh dan membebani kami, lebih baik kamu cepat-cepat menikah dan pergi.” Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendengar ibuku sependapat dengan suaminya. Ini suatu keajaiban yang mengerikan. Karena dia setuju tentang hal diluar perkiraanku dan tentu saja ini semakin meyulitkan masa depanku yang kurancang seapik mungkin, mengingat keadaan keluarga yang kacau balau. Mereka berdua seakan tidak mengikutkanku dalam pembicaraan. Mereka berbicara tanpa memandangku sama sekali. Aku hanya butuh penghargaan sedikit saja. Apa sih sebenarnya yang ada di kepala mereka? Aku anak satu-satunya ini hanya dianggap patung lilin yang membuat rumah terlihat menjijikkan. Orang dewasa kata mereka? Kalian tidak lebih dari sekumpulan anak-anak yang terperangkap dalam tubuh manusia tua.
“APA??? KAPAN AKU MEMBEBANI KALIAN? YANG ADA KALIAN MEMBEBANI DIRI KALIAN SENDIRI DAN ANAKMU YANG KALIAN ANGGAP SUDAH MATI INI! AKU HIDUP, AKU MEMBUTUHKAN KALIAN, DAN APA YANG KALIAN LAKUKAN? SETIAP HARI BERTENGKAR TIDAK ADA HABISNYA. KALIAN ADALAH ORANGTUA PALING MENGERIKAN YANG PERNAH ADA. AKU TIDAK MAU MENIKAH!”
Aku menarik napas banyak-banyak, aku sudah menumpahkannya!! Aku sudah mengatakan apa yang aku pendam selama ini. Aku merasa lega. Aku ingin berteriak lagi.
“APA KAU BILANG ANAK DURHAKA? DASAR BEGUNDAL TAK TAHU DIUNTUNG. SUDAH BAGUS KAMU TIDAK KU BUANG DI TEMPAT SAMPAH! KAU PIKIR KAU SIAPA? KAU ITU ANAK HARAM! KAU ITU CUMA ANAK YANG DIBUANG DI DEPAN RUMAH KAMI. MASIH UNTUNG KAMI MAU MENGURUSMU. KALAU TIDAK KAMU PASTI SUDAH MATI SEKARANG!!” Bapak berteriak di depanku. Menampar perasaanku yang sudah tidak berbentuk. Memenggal hatiku yang tinggal separuh dengan kata-katanya yang tajam. Bapak murka, ibu menunduk, dan aku terduduk. Aku bukan anak mereka berdua? Aku hanya anak yang dibuang di depan pintu? Aku? Pantas saja mereka seperti tidak menganggapku ada. Karena mereka sekarang dalam ekonomi yang sulit, mereka berdua menganggapku sebagai beban yang harusnya tidak perlu mereka ambil saat aku menangis di depan rumah mereka. Perasaanku terlalu diaduk-aduk. Diperam dan dibuat memar. Ah, Tuhanku.. aku mungkin hanya membutuhkanmu. Airmata menyeruak dengan deras. Aku depresi.
“JANGAN GANGGU AKU LAGI!” Aku berteriak sambil berdiri menantang.
Bapak muntab!
“KALAU BEGITU SEBAGAI TANDA TERIMAKASIHMU KAU HARUS BISA MENJADI NOMOR SATU DI UJIAN NANTI! DAN KAMI TIDAK AKAN MENGGANGGUMU LAGI. DASAR SUNDAL HARAM!!!” Bapak akhirnya membuat kesepakatan, dengan dirinya sendiri. Aku bergegas pergi ke kamar, menutup pintu seperti pada adegan-adegan sinetron saat si peran utama murka, membanting pntu yang sebenarnya tidak memiliki dosa apa-apa.
Tiba-tiba saja dadaku rasanya terlalu sesak untuk bernafas. Aku terduduk di lantai kamar yang dingin. Ya Tuhan, inikah hadiahMu yang Kau sembunyikan selama hampir tujuh belas tahun? Ah Tuhan, hanya Kau yang aku inginkan sekarang. Menyadari aku mulai meracau dalam hati dan bersiap-siap menyalahkan Tuhan akan apa yang terjadi, aku beranjak menuju sajadah di samping tempat tidur. Hatiku limbung, seperti kapal yang sedang bertarung melawan ganasnya ombak di tengah samudera dan bayu yang berusaha menumbangkan kekuatan terakhirku.
Aku ingin shalat …
‘selama nyawa tertanam di antara penjepit nadi-nadi
Biarlah aku tertawa meskipun hanya sekian waktu
Asap para Indian beterbangan
Sedangkan aku hanya ingin mengudarakan nafasku, dan syukur ke peraduanMu
Nyatalah bahwa aku hanya manusia
Terperangkap di bilik berjerami, mentari sekedar menyinari
Lepaskanku Ya Allah, lepaskan dari jerat masa suram
Tertutupi tirai hitam, seperti langit yang menyembunyikan bintang di malam mendung
Sujudku, kepala menunduk bertumpu pada tanah,
Segala serasa begitu sunyi, mengirimku untukMu
Lelah, kan ada masalah yang jauh lebih terasa di ujung jalan, seperti para khalifah baik hati yang tertimbun pasir hanya untuk menuju keabadian ..’


Keesokan harinya keadaan semakin terasa menyedihkan. Aku yang terlalu lama mengurung diri di kamar sampai melupakan belajar, padahal hari ini adalah hari pertamaku menjalani ujian nasional. Aku hanya berbekalkan ilmu seadanya, yang aku kumpulkan setahun terakhir dan doa-doa yang tadi malam turun deras bersama airmata.
Empat hari melewati unas tanpa perhatian orangtua adalah saat-saat terburukku menjalani hidup. Semuanya seperti tidak masuk akal, tidak adil untukku. Selama ini aku jarang sekali menyusahkan bapak dan ibu. Di sekolah aku selalu mendapat peringkat, tiga besar. Malahan untuk tahun kemarin aku melibas teman-temanku seangkatan dengan menjadi juara paralel, aku tidak pernah berurusan dengan tatib sekolah, tidak pernah berpacaran (jika hal itu dapat dimasukkan kedalam kategori ‘tidak menyusahkan orangtua’), memikirkan masa depan dan cita-cita melebihi anak-anak seusiaku yang terlalu banyak menghabiskan waktunya hanya untuk bersenang-senang, dan banyak lagi. Bahkan disaat orangtuaku menganggapku sudah mati, aku masih berusaha mengambil hati mereka dengan tetap pada jalur putihku. Tetapi semuanya percuma. Ternyata aku bukan anak mereka. Dunia terlalu kejam pada anak dengan usia tujuh belas sepertiku, brengsek!!
Mungkin ini hal terakhir yang bisa aku berikan untuk mereka, sebelum aku pergi untuk mencari ketenangan hidup sendiri.

“Peringkat pertama diraih oleh ananda … Chavi Dagna Aditya!” suara itu seperti menggaung dalam batok kepalaku, meluncur tersandung di antara jalanan otak, dan sampailah pada inti otakku yang sudah lama kebas! Ya Tuhan, ini sebuah keajaiban atau apa?
Seperti arti dalam namaku, Chavi berarti anak perempuan, Dagna yang bersinar, dan Aditya adalah nama besar keluarga, mungkin hari inilah diriku benar-benar menjadi wanita yang bersinar untuk keluarga yang tak pernah ku miliki. Aku membuktikan pada bapak bahwa aku bisa. Dan hidupku akan berjalan sesuai dengan apa yang aku inginkan! Aku tidak akan dipaksa menikah! Dan ..
“Chavi!!!! Ayo maju, Nak!” seorang ibu guru menyeruku.
Dengan langkah tergesa aku menghampiri panggung, tempatku membuktikan diri, tempatku dijunjung tinggi, tapi kemana bapak?
Setelah melewati kerumunan orang di gedung tempatku wisuda aku berlari kencang untuk pulang.
“jika saatnya tiba,
Segalanya akan merasa “INILAH WAKTUNYA”
Tidur di pelepah pisang, balai-balai melambai ingin disinggahi
Dan bulan sabit mengunci malam pada temaram,
Ya, hanya waktulah penjawab atas semua pertanyaan
Namun waktu tak lebih dari surialis nyata yang bersembunyi pada peradaban
Ia memang mesin penjawab, tapi ia tak akan mampu membuat suatu hal atas inginnya, karena segala adalah kuasa di atas waktu
Tertawa bersamanya adalah indah, menghentikannya hanyalah lelah
Tik..tik..tik..
Mungkin sudah saatnya

Aku menerobos pintu dengan kekuatan kuda pacu yang terobsesi menjadi juara, namun di tempat mataku tertuju, adalah sebuah pemandangan paling mengerikan yang pernah aku lihat. Langsung di depan mataku yang mulai tertutup airmata.
“BAPAAK!!! IBUUU!!!!” Suaraku seperti tidak menyentuh gendang telinga mereka. Aku tahu, tapi sesaknya udara lebih menguasaiku daripada seorang Lucifer sekalipun.
Aku terduduk. Perasaanku seperti dicabut, segalanya kebas, seluruh diriku mati rasa pada saat bersamaan. Apa yang terjadi?
Keadaan mereka berdua membuatku menggigil. Tubuhku diguncang sesuatu yang labih hebat daripada gempa 9 skala richter. Ibu telentang di atas lantai kramik dingin. Matanya terbuka tetapi tidak berisi apapun, kosong sama sekali. Dan itu yang membuatnya mati, lehernya digorok! Hampir putus, aku merasakan sakit pada leherku sendiri. Siapa yang tega? Darah berceceran di sepanjang lantai ruang tamu, seperti banjir darah. Tangisku pun tumpah, airmataku terpaksa aku kuras lagi.
Dan bapakku? Menggantung di atas lantai, dengan tali tambang yang menjerat hidupnya. Lidahnya terjulur, tubuhnya biru. Sudah mati semua. Aku kalut, apa yang sebenarnya sedang terjadi disini? Aku merasa bodoh berjalan menuju meja terdekat. Ada kertas yang berhiaskan darah segar..
Untuk anakku, Chavi ..
Maafkan bapak, Nak.
Bapak sudah membuatmu menderita.
Mungkin dengan membunuh ibu, bapak tenang
Ternyata tidak.
Sehingga bapak berpikir untuk menyusul ibu saja.
Baik-baik ya, bapak tahu kamu juara satu, bapak bangga!
Lama bapak tidak mengucapkan ini, terlalu lama, Nak.
Bapak menyayangimu.
Maafkan bapak

Aku ingin mati bersama mereka!!
Mereka jahat sekali meninggalkanku. Sekalipun menyakitkan saat mereka ada, tapi ini benar-benar mengerikan. Aku harus hidup sendiri, tidak mungkin. Lebih baik dianggap mati daripada aku ditinggal mati. Kenapa hidupku ironis sekali. Aku berjuang mati-matian untuk menjadi nomor satu di sekolah, dibayang-bayangi untuk segera menikah muda dengan seseorang yang aku bahkan tidak tahu siapa, depresi melihat kedua orangtuaku seperti itu, tapi masih juga aku harus kahilangan dua orang sekaligus, orang yang sebenarnya sangat aku sayangi, meskipun dengan cara berbeda, aku bisa gila!
Memang benar, bapak tidak menggangguku lagi, mereka berdua tidak akan menggangguku lagi. Aku menurunkan bapak dari tali tambang dengan susah payah, terantuk antuk tapi pada akhirnya aku mensejajarkannya dengan mayat ibu yang masih mengeluarkan darah. Aku tidak ingin melakukan apapun kali ini. Aku merebahkan diri di antara mereka, aku ingin tidur siang sebentar bersama mereka berdua, wanita angkuh dan lelaki pembunuh, meskipun hanya sebentar saja..

Tiba saat tali-tali terputus
Nyawa-nyawa melayang
Perasaan mati, segalanya pergi
Ah, sampai jumpa
Di kemudian hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar