BERMIMPILAH !

DAN PADA BAYANG-BAYANG YANG JATUH DI SELASAR SAAT HUJAN..
PADA DIRIKULAH, AKU TERBANG..
MENGEMBANGKAN SAYAP PEMBERIAN..
MENDAKI KEDALAMAN, BERTARUNG DENGAN MALAPETAKA..
AKULAH, SEORANG BIASA..
DENGAN MIMPI-MIMPI DI LUAR BATAS KEPALA..

19 Jul 2011

DIANTARA KERTAS TERBANG

Kita tak bisa benar-benar memilih, kepada siapa hati kita tertunduk mengakui, lembutnya cinta mengisi hari-hari dengan segala hal yang serba indah. Sesungguhnya, jika kita berkaca, yang kita temukan hanyalah perspektif berbeda, beralur positif yang membuat pandangan kita akan segala hal adalah segala keindahan. Saat panah asmara menembus inti hati, rumah doyong dengan tiga sangga kayu yang mencoba bertahan berdiri adalah semacam mahakarya sekelas gedung yang dipawangi arsitek John Nash, si kawakan arogan yang pernah mendesain pertokoan pusat melalui taman, jalan yang menjadi rute upacara kerajaan di Buckingham Palace, Inggris, sebelum 1850-an.
Cinta menyentuh kita tanpa kita ketahui. Ia hanya berjalan di jalannya. Tak menghiraukan siapa yang didatangi dan siapa yang telah merana ditinggalkan. Buta, tak punya mata. Seperti banyak lagu mengisyaratkan demikian.
Dan aku tersentuh di hatiku yang sudah kering. Membelokkan inderaku hanya untuk menatapnya lamat-lamat. Mata dan rambutnya hitam kelam, postur diatas rata-rata—kutaksir 182 cm, hidung mancung, kulit coklat terbakar matahari, proporsional, bahkan aku bisa melihat perut yang bidang dibalik seragam putih abu-abunya. Cinta pada pandangan pertama, cinta yang pertama. Jika boleh jujur, sebenarnya bukan poin sederhana itu--segala yang bersifat fisik dan terlihat--yang membuatku serasa menenggak opium di luar kadar normal, tapi rasanya aku sudah mengenalnya jauh-jauh hari, dekat dengannya dan menghabiskan waktu berdua. Yang paling penting adalah sesuatu dalam dirinya menambatku entah sejak kapan. Tapi itu hal yang mustahil. Mungkin aku mengalami de javu yang terbalik atau apa.
Ya Tuhan, ia melihatku. Tatapannya tak kalah lekat dengan apa yang aku lakukan padanya. Pandangan tak terbaca, ada kilat sementara, aku tertusuk rasa terkejut dan tidak percaya. Ia melihatku dengan tatapan merindu, seperti camar yang dua tahun dikandang kemudian dilepas tuan yang frustasi melihatnya membuat keributan. Yah jika aku boleh mendramatisir, seperti itulah yang aku lihat. Atau sebenarnya seperti itulah yang ingin aku lihat. Aku terdiam, terkunci dan dipatri kuat-kuat. Megap-megap kekurangan oksigen. Mustahil!
Orang bilang masa yang paling indah adalah SMA, kurasa tidak juga. Lihat siapa yang digandengnya. Si primadona sekolah, Shalom. Si kapten cheers yang menduduki most wanted female selama 3 tahun berturut-turut tanpa ada yang sanggup menggesernya. Dan sang pangeran bermata tajam itu menusukku hingga ke tulang belulang. Memandangku saat Shalom bergelayut seperti primata baru menemukan pohon dengan banyak dahan, membisikinya sesuatu. Puih!


“Bybyyy!!! Ini lihat aku menemukan kepompong. Kau harus melihatnya!”
“Mana?? Aku mau lihat!”
“Ini, cantik kan?” Gallant menunjukkan kepompong kuning itu padaku. Aku mengerut.
“Jelek! Ih apa itu? Nggak cantik.”
“Sini, dekat Lalant. Aku kasih tahu ya. Si jelek ini nanti bisa jadi kupu-kupu lho. Kalau dia keluar nanti dia jadi cantik. Kau percaya?”
“Iya.” Aku tidak tahu kenapa aku bisa mempercayainya. Dia menatapku lekat.
“Byby, Lalant ingin lihat Byby jadi seperti kepompong ini. Sekarang kan Byby masih jelek kayak kepompong, tapi nanti aku mau lihat Byby secantik kupu-kupu. Janji?” ia mengaitkan jari kelingking kami dengan sedikit memaksa.
“Hei, kamu tadi bilang aku kayak kepompong jelek? Dasar Lalant!!! Awas jangan kabur!” aku mengejarnya ..

“BANGUNN!!!!”
Aku terduduk dengan keringat banjir. Ibu?
“Ini sudah sore tahu! Ayo bangun. Ada good news, so good. kita punya tetangga baru lo. Rumah sebelah baru saja dihuni satu keluarga yang baru pindah dari Bandung. Kamu pasti ingin kenalan sama mereka.” Tiba-tiba Ibu menunduk menuju telingaku, berbisik. “Mereka punya anak cowok lho!”
Seketika ku lempar bantal kumalku. Meleset. Sial!
Ibu tertawa terbahak-bahak meninggalkan kamarku. Sebelum pintuku berdebam ditutup aku sempat berteriak,
“AKU NGGAK MAU BUK! BANYAK TUGAS, SAMA BERLIAN AJA YA!” Bohong.
“AWAS KAMU NYESEL NGGAK KETEMU COWOK ITU, JANGAN MINTA IBU BUAT COMBLANGIN KALIAN KALAU KAMU TAHU SEPERTI APA DIA.” Ibu ikut-ikutan berteriak dari bawah.
Ah, apa peduliku. Baru saja aku bermimipi tentang Gallant. Teman masa kecilku saat aku berumur 4 tahun, anak badung tetangga sebelah hasil cinta Tante Rose dan Om Randhis (aku meragukannya, karena kupikir kenakalannya yang mencapai stadium 17 itu Gallant bukan hasil cinta mereka, tapi hasil pertumpahan darah mereka di perang dunia lima. Dengan latar saling membunuh, bukan saling mencinta.) aku lebih peduli pada Gallant yang 12 tahun tak ada kabar dan pangeran bermata tajam yang kutemui di sekolah tadi daripada tetangga baru.
Aku beranjak ke balkon, di atas meja ku robek selembar kertas. Kutulis sesuatu,

Gallant,
Kau tahu? Aku ingat kupu-kupu. Aku ingin menjadi kupu-kupumu.
Tapi sepertinya ada pangeran baru yang akan menggantikan posisimu, anak baru kelas 3. sepertinya dia yang aku tunggu. PIISS. 

Sambil berjalan ke ujung balkon aku menyulap kertas tadi menjadi mainan berbentuk pesawat terbang. Kebiasaanku, semacam doa atau buku diary yang dibuang begitu, setelah lama ditinggal Ayah ke surga, sekali sehari, dan semakin intens menjadi dua kali sehari saat Gallant juga pergi entah kemana. Aku merindukan mereka, sangat. Mungkin Gallant cinta pertamaku. Impossible! saat itu kami kan masih balita.
Aku merentangkan tangan, menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Ku terbangkan si pesawat kertas. Dia selalu menuju kerumah sebelah. Ah peduli amat. Ku lihat di bawah ibuku sedang mengetuk pintu rumah itu, bersama Berlian. Dasar penggila sosialisasi. Aku jijik sosialisasi.



Kelas hari ini membosankan. Istirahat yang biasanya adalah saat termanis menjadi tidak menarik minatku sama sekali. Ahh!! Kenapa sih hari ini?
Aku merendahkan kepala di atas meja, lebih baik tidur pikirku.
Namun tiba-tiba kelas ramai, seseorang memasuki ruangan. Auranya seperti Justin Bieber yang melangkah jumawa di atas panggung konser. Siapa sih? Mengganggu tidurku saja.
“Mana Rubby?” suara si Pengacau tidur itu menohok dadaku. Idih, aku pula yang dicari. Sono cari yang lain. Aku mengantuk!!
Posisiku yang menyamping membuatku tidak tahu itu suara siapa, kepalaku menghadap sebelah kanan ruang kelas, tidak ke depan, dan yang aku tangkap malah ekspresi kecewa teman-teman cewek yang berpura-pura duduk manis di sepanjang mataku menerawang.
“Itu.” Seseorang menunjukku.
Terpaksa. Aku menengadah.
Aku tercengang kuadrat, kalau kalimat itu masih terasa kurang pas aku tidak tahu kata apa yang pantas untukku saat ini. Megap-megap.
lagi.
Pangeran mata tajam??? M-I-M-P-I A-P-A A-K-U? MIMPI APA AKU?
“Ada waktu?” Aku mematung. “ Kalau aku tidak mengganggumu, bisa kita bicara di perpus sekarang?”
Aku gagap, mangap-mangap.
Dia seperti tidak membutuhkan aku menyetujui keinginannya atau tidak, karena dia sudah melangkah pergi. Aku sekarang serasa tolol, mengikutinya. Dengan pandangan ingin tahu dari semua orang, termasuk cewek-cewek yang dibumbui tatapan iri. Padahal kan kita belum pernah berkenalan? Atau saling tahu bahkan nama masing-masing. Tapi kenyataannya dia memanggil namaku, mimpi? Selalu sepertinya.
Dan fakta bahwa aku juga buta akan keinginannya mengajakku berbicara ke perpus semakin membuat otakku yang sedang primitif kali ini berdengung. Aku merasa tidak tahu apa-apa. Sebelas meter lagi kami akan sampai di perpus, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti tiba-tiba, membuatku menabraknya. Bruk pelan, tapi karena konsentrasiku pecah kemana-mana aku terhuyung ke belakang, hampir jatuh. Tangan pangeran mata kelam menyambarku cepat, menahan agar aku menjaga keseimbangan.
Dag.. Dig.. Dug, DUAR!!!!
Jantungku yang jatuh! Tidak! Mukaku semerah tomat segar dari ujung kaki ke kepala, antara senang, kaget, dan malu. Tangannya lembut, kuat, tetapi serasa menunjukkan kuasa yang tak kentara.
“Maaf. Terimakasih.” Lirih. Maaf? terimakasih? apa itu pantas diucapkan dalam satu waktu? Apa peduliku. Aku harusnya lebih peduli kepada sosok menggeram di depan kami berdua. Shalom. Mampus!
“Apa yang kau lakukan dengan cecunguk menggelikan itu Ganesh! Kau kan janji untuk menemaniku di kantin hari ini!”
Cecunguk menggelikan? Ya ampun aku tidak tahu kalau aku seperti itu.
Dan Ganesh? Nama pangeran ini Ganesh?
“Aku ada perlu sebentar dengannya.” Ganesh menunjukkan acuh tapi terlihat bingung. Tampak menyesuaikan diri.
“Perlu apa? Tidak!! Kau hanya milikku, jangan pernah terlihat berduaan dengan si menjijikkan ini? Kau jauh lebih baik jika aku yang berada disampingmu, itu lebih pantas! Daripada dengannya, apa kau tidak malu?”
“DIAM!” tiba-tiba Ganesh murka. Mukanya merah padam menahan untuk tidak meninju Shalom. Tangannya menggenggam bagian dalam telapak tangannya. Marah!!
Dia melangkah menjauh. Aku kabur!



Gallant,
Kau tahu? Dia mengajakku berbicara! Aku senang sekali.
Tapi ada Shalom, si Putri mengerikan.
Hei, kau ingat kan besok tanggal 3? Sweet17.
Ya ampun aku sudah tua.

Membentuknya menjadi pesawat terbang seperti biasa aku melangkah ke balkon. Menerbangkannya. Si pesawat terus saja menuju rumah tetangga sebelah. Aku melihat ibu, Berlian, seorang lelaki setengah baya, istrinya, dan cowok, kira-kira tiga tahun lebih tua dariku. Siapa dia?



Aku ingin bangun siang, pikiranku merencanakan sehari penuh bersama ibu dan Berlin-panggilanku untuk Berlian. Karena hari ini hari minggu dan hari sweetseventeenku, jadi seperti biasa setelah acara tiup lilin ogah-ogahan (karena aku dan Berlin hanya memiliki satu tujuan dalam setiap acara ulang tahun keluarga, menghabiskan tart ibu), kami bertiga pasti menghabiskan waktu bersama untuk saling mendoakan, bercerita, atau macam-macam hal seru yang kami sukai.
Tetapi kali ini sedikit aneh. Aku merasakan kamar tidurku berubah wewangian. Biasanya aku memakai mawar untuk menyegarkan kamarku, tapi hari ini-pagi ini tepatnya, dengan mata masih tertutup yang menandakan bahwa aku masih tidur-aku membaui parfum yang cenderung gentleman. Aneh kan? Yah meskipun seleraku kadang-kadang terlalu aneh untuk diributkan, tetapi parfum semacam ini tak pernah masuk kategori keanehan yang aku rancang.
Aku mencoba membuka mata, berharap menemukan dua kotak hadiah di ujung ranjang dari ibu dan Berlin. Ku kedip-kedipkan mata sedikit. Saat mataku terbuka penuh, pemandangan di depanku membuat tulangku lumer.
“GANESH! MAKSUDKU K-KAK G-GANESH! APA YANG KAMU LAKUKAN DI KAMARKU! KE-KELUAR!!!” teriakku kalut. Mukaku menggelap. Bingung, antara kaget, senang dan merasa dikurang ajari—padahal dia tidak melakukan apapun kecuali memandangku dari samping ranjang—itu cukup membuatku refleks melempar bantal padanya!! Dia sama sekali diam, hanya mengekspresikan sedang geli dan bahagia. Apa coba maksudnya? Aku kalap! Saat bantal keempat hampir kulempar, tanganku terhenti. Mengamati bantal itu dengan seksama. Ganesh semakin geli melihatku. Okelah aku menyukainya, cinta malah tetapi kalau dia masuk kamarku kan tidak etis (atau aku sebenarnya malu mengetahui fakta bahwa diriku ini tidak ingin dilihat pangeran Ganesh dalam bentuk awut-awutan pas bangun tidur? Sepertinya yang ini.) bantal ini berwana hitam gelap, dan aku belum amnesia untuk mengingat bahwa bantalku dirumah berwana ungu. Dan lagi aku hanya memiliki tiga bantal dikamar, aku melirik ke arah bantal-bantal yang telah ku lempar. Satu di sebelah kanan Ganesh, satu lagi di depannya, yang satu di tangannya, dan ini yang ditanganku juga bantal, berarti satu.. dua.. tiga.. empat. Mataku terbelalak! Aku menguasai diri, kulihat sekitar. Kenapa bantalku bertambah? Atau ..
“Seharusnya aku kan yang bilang begitu. Mungkin sekarang kau mau keluar atau melakukan sesuatu sebelum kita berdua ke ruang tamu untuk merayakannya. Karena sepertinya kamarku perlu dibersihkan.” Ganesh meringis, terkikik melihatku mulai menyadari apa yang terjadi.
:”Aku.. aku..” gagap dengan sukses, menggigit lidah sendiri untuk mencegah mengatakan itu.
Ganesh mendekati ranjang, di duduk disamping. Memperhatikanku dengan pandangan yang sulit dibaca. Dia benar-benar terlihat luar biasa. Matahari yang tersenyum membuat sosoknya ramah, tidak seperti beberapa hari yang lalu.
Aku jelas belum mendapat kendali diri saat mengitari ruangan dengan pandangan. Ada fotoku di dinding utara! Banyak sekali dengan ukuran yang wow! Ukuran poster ada, ukuran dompet pun ada, lengkap. Dan di sisi depanku, disamping jendela, ada semacam gantungan berukuran besar yang menggantungkan pesawat mainan dari kertas. Jumlahnya banyak. Dan aku sadar itu punyaku yang setiap hari aku terbangkan! Apa yang ..
“Aku mengumpulkannya, kau tahu? Setiap hari selama aku disini dulu. Yah untuk beberapa buah aku melewatkannya, tapi tidak untuk yang lain.” Ganesh tersenyum, aku menganga--mulutku maksudnya. “Dan foto-foto itu aku harus mengucapkan terimakasih untuk sikap kooperatif dari Ibu dan Berlin. Tanpa mereka aku tidak mungkin bisa mendapatkannya saat tidak di dekatmu.”
Aku semakin tidak mengerti. Ya Tuhan aku rasa aku masih tidur!
“Aku tidak mengerti. Maaf aku memang kadang bisa sangat lama bahkan hanya untuk loading, yah aku tidak bisa memaksa orang-orang untuk memakluminya. Tapi kali ini aku maklum kalau diriku akan benar-benar bodoh karena tidak tahu apa-apa. Tentang semua yang kamu katakan. Oke, aku mau pergi!”
Tiba-tiba tubuhku yang serasa lengket karena belum mandi ini ditariknya, direngkuh, dipeluk. Butuh kekuatan sepuluh tangan laki-laki untuk merenggangkan ikatannya. Aku megap-megap, sulit mengambil udara. Aku memberontak diantara degup jantungku yang bekerja di luar kendali. Aje gile ini bocah! Aku kadang berfikir untuk berada di dekat Ganesh, tapi saat ini yang tentu diluar dugaan dan melampaui imajinasi liarku, aku bernafas pun malah tidak sanggup. Sesaat lamanya aku terdiam, lelah.
“Jangan pergi lagi Bybyku, ya aku harus mengakui bahwa akulah yang pergi dulu. Tapi saat aku kembali aku hanya ingin di dekatmu. Mengerti? Kau ingat kan janjiku, aku ingin melihatmu menjadi kupu-kupu. Dan sekarang serta beberapa hari lalu aku sudah melihatnya.” Suara Ganesh teredam rambut sebahuku. Ia seperti anak yang meminta ibunya tinggal agar tidak kesepian.
Kenyataan tentang dia menyebut Byby dan kalimat-kalimat tadi membuatku tersentak. Aku gelisah.
“Gall ..lant?” lirihku. Kerongkonganku tersumbat rasa rindu yang aku sembunyikan selama 12 tahun terakhir. Dia Gallantku? Lalantku yang dulu??
“Iya By. Kau tahu aku tersiksa melihatmu kemarin-kemarin tanpa bisa mendekat. Padahal kita terlalu lama berpisah kan?” Dia nyengir, sembari melepaskan pelukannya tetapi tidak untuk melepaskan mataku dari mata kelamnya.
“Tapi kau bersama Shalom! Oke jawab semua ini dasar bodoh penipu.” Aku menghela nafas, Gallant tersenyum melihatku marah. “Jangan senyum! Pertama, namamu itu Gallant bukan Ganesh!” Sesaat aku diam, mengingat nama lengkapnya. “Astaga!! Gallant Gingga Ganesha????” Gallant tertawa melihatku. Aku merengut merasa ditipu habis-habisan.
“Oke aku yang bodoh, tapi tetap saja kau penipu! Kedua, kenapa kau tidak langsung saja mendekatiku? Kau malah bersama Shalom! Memang sih dia cantik tapi kau itu milikku!!” Ups. Ganesh semakin melebarkan senyumnya yang cerah. Manis sekali.
“Aku mengaku aku milikmu dan begitu pula sebaliknya. Kenapa aku bersama Shalom? Intinya saat aku mencarimu di sekolah tidak ada yang membantuku kecuali dia karena kami hari itu sama-sama terlambat, tanpa tahu dia cewek mengerikan seperti yang kita tahu, karena aku masih baru dan itu hari pertamaku jadi aku bertanya padanya tanpa curiga. Dia mau membantu dengan syarat supaya aku pura-pura menjadi pasangannya, karena aku terlalu bersemangat untuk cepat melihatmu aku setuju saja. Maaf Bybyku.” Serunya sembari mencubit pipiku.
“Tapi kenapa kau tidak mau berbicara padaku saat di perpus. Shalom mengatakan hal itu dan kau patuh bahkan tidak membelaku!” semburku murka, cemburu sebetulnya.
“Sayangku, aku berjanji untuk tidak mendekatimu selama tiga hari ini selain berlaku sebagai pasangan Shalom. Aku memaksanya hanya tiga hari karena sebelumnya dia ngotot untuk 2 minggu, bayangkan! Hari ini kan ultahmu jadi aku ingin bebas hanya untukmu. Aku marah padanya waktu itu, tentu saja. Tapi aku kan laki-laki yang harus pegang janji dan aku tidak mau bedak Shalom lepas beserta kepalanya saat aku memukulnya karena menghinamu. Makanya aku lebih memilih pergi.” Dia tersenyum lagi, meminta maaf dan berusaha menenangkanku lebih lama.
“Dan kenapa kau tidak pernah kesini lagi 12 tahun terakhir? Kenapa kau menyimpan pesawat terbangku? Kenapa kau bersekongkol dengan ibu dan Berlin untuk mendapatkan fotoku? Kenapa??” tiba-tiba kurasakan mataku pedih. Aku sebenarnya tidak mau terlihat cengeng di depan penjahat kecil ini. Tapi aku terlalu lama memendam apa yang disebut dengan love at first sight atau love is blind atau falling in love atau love is kampret? Sial!!
Tangan Gallant menyentuh pipiku lembut, menghilangkan air yang dengan kurang ajarnya berebutan untuk melihat dunia luar.
“Kenapa aku tidak pernah kesini lagi 12 tahun terakhir? Aku di Boston sayangku, dan bocah berumur 7 tahun tidak akan tahu jalan kembali ke Jakarta dari USA. Aku lupa alamat ini dan papa mama hanya menahanku tanpa memberi tahu. Semua cara sudah aku coba dan aku terpaksa menuruti mereka karena mama harus berobat disana, bukan untuk bersenang-senang. Baru sekarang aku ada disini, kejutan dari papa setelah mama sembuh. Kenapa aku menyimpan pesawat terbangmu? Kenapa aku bersekongkol dengan ibu dan Berlin untuk mendapatkan fotomu?” dia berganti posisi berada di depanku. Meraih tanganku.
“Karena kau kupu-kupuku! Kau yang membuatku terus terbang meskipun aku hanya memiliki satu sayap. Dan meskipun jarak antara kita merupakan jurang yang memenggal tempat, kau selalu ku lihat disini.” Dia menunjuk dadanya. “Kau bertahan disini untuk waktu yang aku sendiri tidak tahu, tidak ada masa tenggang sama sekali tetapi isi ulang sepertinya berlaku, karena kemanapun salah satu dari kita pergi, kita tetap kembali. Aku menyayangimu Ruby, kau akan tetap berkilau meskipun aku yang redup ini mendampingimu. Aku mencintaimu.”
Aku menghambur ke arahnya. Refleks yang pas jika mendengar bajingan kecilku dulu mampu berucap seperti Gibran. Dia mungkin sudah gila karena mencintaiku. Tapi kurasa aku lebih gila lagi jika pangeran mata kelam ini tidak mengatakannya.
“Aku juga mencintaimu.” Hanya itu saja.
Setelah 15 menit tanpa kata-kata, kami saling menjauh. Dia dengan bersemangat mengusap rambutku yang berantakan. Dan sentuhan akhir dengan mengecup keningku.
“Sepertinya kau butuh mandi kupu-kupu. Baumu benar-benar luar biasa..” Dia nyengir lebar dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melemparnya dengan bantal keempat. Tepat di kepala. Yes!
“Sakit tahu!.” Gallant terlihat pura-pura kesakitan.
“Biarin! Hei bagaimana aku bisa ada di kamarmu ini?” Mataku menyipit, curiga.
“Kau sepertinya juga butuh diet, Manis. Dan cepatlah mandi. Papa, Mama, Ibu, dan Berlin sudah menunggu kita di bawah. Dandan yang cantik ya. Gaunmu ada atas meja. Aku tidak mau melewatkan kupu-kupuku menikmati kulitnya yang mulai keriput karena dia setelah hari ini akan berumur 17. Kau akan diakui Negara dengan KTP, kau tahu?”
Aku gemas sekali. Kulempar guling, sebagai senjata terakhir. Dan Gallant semakin keras tertawa. Kali ini meleset. Sial! Aku mencintai laki-laki yang akan mengubahku menjadi atlet lempar bantal guling.
Aku beranjak ke meja, mengambil gaun dari Gallant. Saat aku mengangkatnya, meluncur gaun ungu dengan model sederhana namun benar-benar cantik. Tidak ada payet, manik-manik atau hiasan apapun, hanya bunga mawar berwarna senada dengan gaunnya menyembul di bagian atas dada sebelah kiri. Ada kertas yang jatuh bersama dengan gaun itu. Aku mengambinya. Sepertinya tulisan tangan Gallant.

Cintaku tidak sempurna
Patah sebelah, rancu melingkar, tergigit sisinya
Banyak yang mengatakan bahwa seharusnya aku membawakan yang utuh, tanpa cela
Namun aku tak memiliki apa-apa selain itu, Kupu-kupu
Jadi, jelas bahwa aku membutuhkan milikmu yang sempurna, tertahan di balik remang-remang
Cinta pun terkait erat
Berpahatkan batu mahal, Rubykah itu?
Aku menjawab iya.
Itu kau
Itu kupu-kupuku.
Itu selalu ku genggam sampai tanganku berdebu atau menjadi debu
Layakkah aku untukmu?
Iya, aku layak meskipun wujudku tidak
Lihatlah cinta yang tertanam jauh dalam lekuk hati
Aku juga ingin kau mendekapnya kuat-kuat
Untuk mengembalikan yang pergi
Untuk bersatu menjadi abadi

Aku menagis lagi.
“Sayang, kue tartmu sudah menunggu, ayo cepat!” Gallant.
ROSANDRA-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar