BERMIMPILAH !

DAN PADA BAYANG-BAYANG YANG JATUH DI SELASAR SAAT HUJAN..
PADA DIRIKULAH, AKU TERBANG..
MENGEMBANGKAN SAYAP PEMBERIAN..
MENDAKI KEDALAMAN, BERTARUNG DENGAN MALAPETAKA..
AKULAH, SEORANG BIASA..
DENGAN MIMPI-MIMPI DI LUAR BATAS KEPALA..

19 Jul 2011

RUSLAN

Pagi ini semua terasa suram. Suasana seperti dikutuk Tuhan untuk terdiam, ditutupi awan-awan. Mendung tipis namun merata, membawa hawa yang terkesan sedikit menakutkan untuk dilewati, hari ini. Nyatanya memang begitulah nasib mereka yang tidur di alas-alas tipis sederhana. Di bawah tiang-tiang tinggi yang acuh pada mereka, hanya melirik tanpa niat melihat. Ya, itulah mereka, rakyat yang dikhianati kehidupan dan beberapa saudara. Saudara jauh yang memegang emas di tangan kiri dan ayam panggang di tangan kanan.
Ruslan. Usianya tidak lebih dari tujuh tahun. Dengan paras yang terlihat selalu perlu dikasihani. Bapaknya mati, ibunya bekerja, bisa dibilang juga hampir mati. Beratnya kota ini telah merubah mereka yang tak punya apa-apa semakin menjadi bukan apa-apa. Ruslan tidak pernah merasa hidup turun untuknya, ia merasa hidup turun untuk mereka yang memiliki apa-apa.
Ruslan masih merasa kantuk bermain di matanya, menginginkannya untuk rebah lagi di atas tikar koyak, namun semangatnya bangun lebih awal…
“Rus, mau kemana pagi-pagi begini?” Emak merasa heran, biasanya Ruslan baru berangkat mengantar koran pukul delapan nanti. Namun jarum jam belum juga melewati angka 6 dan 12, Si Ruslan sudah rapi menenteng tas loak kumuh di pundak.
“Pergi bentar, Mak.”
“Kau mau pergi ke tempat itu lagi? Jangan, Nak! Nanti kalau diusir dan ditangkap satpam bagaimana?” Emak bertanya dengan cemas.
“Nggak usah khawatir, Mak. Ruslan akan baik-baik saja.” Ruslan berlari keluar rumah, memaksa kaki kecilnya menerjang suramnya pagi, sama sekali tidak berimbas pada wajahnya yang secerah matahari meninggalkan tempatnya beristirahat.
“Ruslan!!” Emaknya memanggil dengan sedikit putus asa.



Ruslan menyusuri padatnya kota yang merayap perlahan-lahan, seperti kura-kura yang telah mengalami amputasi satu kaki. Setelah sepuluh menit berjalan, sampailah ia disana. Bangunan itu tak lebih dari sebuah bangunan tua berumur 35 tahun dan telah mengalami renovasi hampir lima kali. Tapi bagi Ruslan, bangunan itu adalah segala deskripsi tentang kebahagiaannya, segala perspektifnya tentang masa depan yang menyenangkan, tentang saat-saat yang dinantinya seumur hidup. Bangunan sekolah. SD Impres 2. Sekolah terpencil, diantara gedung pencakar langit, disamping bangunan megah yang congkak.
Ia berjalan perlahan menuju lubang seukuran tubuhnya yang mungil di pojok gerbang. Merangkak kemudian mengendap-endap menuju samping ruang kelas satu. Di bawah jendela yang telah menunggunya, seakan-akan memanggilnya untuk berada disitu. Sekali lagi, sepanjang tahun. Sebuah bangku kecil siap menerima kaki Ruslan yang kasar sebagai alat penambah tinggi badan untuk dua jam nanti, untuk menerima pelajaran dari ibu guru. Dengan satu syarat, jika tak ada yang memperhatikannya.
Ternyata ia hari ini belajar membaca.
Ini Budi.
Ini bapak Budi.
Ini ibu budi.
Begitulah yang ia dengar dari jendela, ia merasa senang sekali. Ia merasa sudah mampu membaca koran yang setiap hari ia edarkan untuk langganannya di kios Bang Tarji. Hatinya berderak-derak seakan-akan menunggu pecah beberapa detik lagi, layaknya es berukuran raksasa di kutub yang tertohok energi pemanasan global.
Satu, dua, ti ..
“Hei! Siapa disana?”
Ruslan seperti maling yang dihajar massa saat Si Ibu guru meneriakkan keberadaannya yang memang terlarang. Jantungnya sekarang yang berderak, memutuskan koneksi untuk hidup lebih lama. Tidak! Ia masih ingin belajar! Ia ingin sekolah!
Waktu berjalan dalam slow motion, segalanya tampak lama dan berada di luar kendali. Segalanya buram. Ruslan kecil berlari sekuat tenaga, menghindari apapun yang sedang mengejarnya di belakang.
BRAKK..!!
Ruslan melihat seseorang dengan senyum yang menenangkan mengajaknya pergi, mengajaknya keluar dari masalah yang tak ada habisnya. Ruslan berpikir untuk ikut, tapi bagaimana dengan Emak? Begitu hatinya bertanya. Sosok putih itu hanya tersenyum sekali lagi, meyakinkannya. Selamanya ..
Mobil itu menabraknya, sekilas saja.

Bagaimana dengan kalian ?
Yang membawa bintang gemintang di antara sedu sedan mereka?
Ruslan hanya bocah, yang ingin sekolah.
Kalian hanya bocah yang tak mengerti..
Sekolah itu apa? Uang mudah bukan?
Coba buka mata, tengadahkan hati.
Kapan ayahmu meletakkan raganya yang berpeluhkan keringat sebesar kepala?
Kapan Ibumu menangis? Tanpa kau tahu, karena melihatmu memandang segalanya adalah mudah.
Mudah untuk dilupakan, mudah untuk dikenang, mudah dibuang.
Kasihan kalian, yang berseragam tetapi buta. Apa warna seragamku. Apa gunanya?
Jika pematang kehilangan rerumputan. Tak akan ada lagi yang menjawab, untuk apa rumput bagi pematang.
Anak-anak sekarang, terlalu lelah menatap ke langit, lama sampai sakit. Kalian tahu apa yang seharusnya dilakukan..
Jika kalian memang pintar .. jangan sia-siakan kesempatan, sebelum akhirnya pergi, tak pernah kembali.

Rosandra, sebelas bahasa, yang bertahan menyemai rerumputan mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar