BERMIMPILAH !

DAN PADA BAYANG-BAYANG YANG JATUH DI SELASAR SAAT HUJAN..
PADA DIRIKULAH, AKU TERBANG..
MENGEMBANGKAN SAYAP PEMBERIAN..
MENDAKI KEDALAMAN, BERTARUNG DENGAN MALAPETAKA..
AKULAH, SEORANG BIASA..
DENGAN MIMPI-MIMPI DI LUAR BATAS KEPALA..

27 Jul 2011

SAAT MERAPI BERCANDA

Matanya kosong, sekosong hatinya, sekosong jiwa-jiwa di sekitarnya, atau lebih tepatnya jiwanya yang benar-benar kosong memaksa suasana di sekelilingnya begitu kosong, atau kekosongan dalam dirinya membaur di udara yang kosong dan membutakan hatinya sehingga kekosongan itu terasa kosong, dan nyata. Dan membingungkan, melingkari kekosongan itu sendiri.
Rasanya jantung Suprapto diremas dengan kuat oleh tangan tak terlihat. Menjadi serpih-serpih kecil dan bersiap-siap menghadap-Nya dalam bentuk paling buruk. Riuh rendah suara-suara manusia seakan hanya angin lalu yang biasa mengusik telinganya, yang sekarang dirasanya sudah tak berfungsi lagi.
Tuli? Ya dia tuli.
Buta? Ya. Dia sudah tak mampu lagi menangkap apapun di depan bola keruh yang dulu pernah terlihat benar-benar jernih. Matanya sendiri yang berwarna hitam kelam, sekelam apa yang ia rasakan saat kini.
Lumpuh? Ya. Jelas-jelas terlihat dari caranya mengunakan seluruh inderanya, di depan lubang menganga berukuran lebih dari 20 meter kali dua meter. Liang lahat. Di depan puluhan badan-badan berbaju putih tanpa jahitan, dan tanpa ruh di dalamnya.
Suprapto semacam air sungai kotor yang tersangkut di atas daun talas, di pinggiran sungai kecil. Benar-benar kotor dan tidak memiliki arti, bahkan untuk ukuran dirinya sendiri.
Orang-orang menatapnya dengan kasihan. Tapi Suprapto tidak membutuhkan apapun dari orang-orang, apalagi rasa kasihan. Dia tidak butuh!
Dia hanya ingin satu . . .
Istrinya.
Berceritalah takdir di sore yang penuh air
Air kiriman Sang Pemilik jagad sendiri
Air dari sumber bola yang tampak akan padam
Dan air yang keluar dengan kehendaknya, tak tahu darimana asalnya
Smua yang berisi nyawa, duka
Satu diantaranya tidak lagi
Mati dalam hidup yang akan mati
Menabrak segala rasa yang belum sempat dijilatnya
Dia muntah dalam sepersekian detik saja
Lantas apa yang ia rasa sebenar-benarnya?
Dia menangis dalam tawa renyah
Ya, dia sedang bercanda dengan dunia
Dan Tuhan sedang memandunya
Senandung rayu tanda kasih
Mentasbihkan jalannya yang penuh ironi

Aku ingin istriku, batinnya berteriak menggila.

Merapi akan meletus pada akhir bulan ini
Dianjurkan untuk seluruh warga masyarakat desa agar segera mengungsi ke tempat yang aman
Pesan dari Mbah Marijan,
Sutinah geleng-geleng kepala.
“Oalah mas, kenapa sih masih percaya sama Mbah Marijan?? Wong merapi ora opo-opo kuwi. Kok bingung sendiri. Kita itu harus tetap disini. Semua akan baik-baik saja.” Sutinah memulai lagi. Perbincangan dengan topik yang sama, tempat yang sama, dan situasi yang hampir selalu sama.
Suprapto menghela nafas, tanda ia sedang jengah. Bosan lebih tepatnya.
“Sudahlah dik, jangan memulai lagi. Aku baru bangun sudah dijamu “sarapan pagi” semacam ini, masak sampeyan tidak bosan dengan apa yang kita bicarakan?” Suprapto memperhatikan raut wajah istrinya yang terlihat mulai mengeras. Hhhh, mulai lagi. Pikir Suprapto tak habis pikir.
“Tapi mas, aku tidak bisa legowo kalau mas mempercayai mbah Marijan seakan dia lebih patut dipercayai daripada Tuhan.” Pelan tapi menusuk tajam. Suprapto langsung berdiri, terkaget-kaget dengan apa yang diucapkan wanita dihadapannya.
“Sampeyan ngomong apa to dik??? Aku tidak sefanatik itu? Mbah Marijan hanya makhluk Tuhan yang mempunyai tugas untuk menjadi juru kunci Merapi. Aku hanya ingin mendaulatnya sebagai orang yang bisa dipercaya dan karena itulah mengapa aku mempercayainya. Kenapa kau berpikir begitu berlebihan?” dia tidak terima, memangnya dia manusia tidak beriman apa sampai mempercayai seseorang di atas Tuhannya sendiri? Dan tidak biasanya ia mengeluarkan kosa kata sebegini banyak di awal harinya. Ia tersinggung.
“Tapi mas harus berkaca! Lihat apa yag selama ini mas lakukan. Mbah Marijan bilang A mas ikut A, B ikut B, kemana suamiku yang penuh percaya diri dengan semua pendiriannya?” Sutinah tiba-tiba menyusut ujung matanya yang tampak basah, matanya menunjukkan kekecewaan yang teramat dalam. Dan hal ini membuat Suprapto panik. Pertanyaan silih berganti melewati otaknya yang beku, sebeku Merapi dalam freezer.
Memangnya apa yang sudah ia lakukan selama ini? Apakah salah jika ia mempercayai Mbah Marijan, yang terhitung sebagai saudara jauhnya itu? Ataukah sudut pikirannya sudah mati rasa sampai ia terlihat mendewakan beliau?
Tok tok tok...
Sutinah seperti disengat aliran listrik dari sutet. Langsung tegak berdiri menghampiri pintu rumahnya yang terbuat dari kayu jati ukiran tangan pemuda jepara. Dan meninggalkan Suprapto yang sekarang lebih mirip dengan Malin Kundang dikutuk emaknya.
Tidak lama kemudian Sutinah-yang biasa dipanggil Tinah-mendekati suaminya yang masih mematung sendirian di ruang keluarga kecil mereka.
“Mas ada tamu.” Singkat saja, menunjukkan bahwa Tinah masih kesal. Dan saat-saat semacam ini jangan sampai Prapto mengganggu istrinya. Bisa dikunci dari dalam kamar nanti malam. Wanita memang sulit dimengerti, tapi mereka menuntut seenak udel mereka untuk dimengerti para pria yang sejatinya tidak terlalu senang dengan acara tebak-tebakan tentang apa yang harus mereka lakukan dan tidak, benang merahnya sebuah pengertian jika kalian tanya kepada para cucu hawa.
Arrhg, membingungkan.
“Selamat pagi. Maaf sepagi ini saya sudah mengganggu bapak. Apakah benar Anda Bapak Suprapto?” Seorang pemuda tampan menyambutnya di depan pintunya. Dilihat dari baju dan segala hal yang melekat dalam dirinya sudah barang tentu dia anak orang kaya. Lirik saja apa yang dia kendarai untuk menuju desa pelosok lereng Merapi ini? Toyota Alphard yang dibandrol 1,5 M. Meskipun Prapto hanya sekretaris desa, tapi paling tidak dia sering membaca koran, lebih-lebih majalah otomotif sehingga dia sedikit tahu tentang mobil dan antek-anteknya.
“Benar, saya sendiri Pak Prapto, Anda siapa? Oh iya silakan masuk dulu Mas.” Prapto mempersilakan tamu barunya memasuki rumah mungilnya yang sejuk.
Ia mengangguk dengan sikap angkuh, semacam anak bangsawan yang sedang mengunjungi abdinya. Pemuda yang sepertinya tidak pernah merasakan penderitaan selama hidupnya di dunia itu mengikuti Prapto. Dengan gerak yang terkesan meremehkan, pemuda dengan umur berkisar 23 sampai 25 tahun tersebut mulai melihat-lihat sekeliling ruang tamu. Ia duduk manis layaknya balita yang akan menerima bubur kacang hijau dari ibunya. Bahkan dengan tenangnya, kaki pemuda itu diangkat sampai menyentuh paha, ia meletakkannya disana, pelan saja tapi membuat mata Prapto mendelik gusar. Benar-benar pemuda kota tanpa santun, gumamnya ngeri.
Apakah semua orang kota itu seperti pemuda ini? Terang saja Indonesia masih jadi bulan-bulanan negara lain, lha wong generasi penerusnya model begini. Prapto sibuk berbicara dalam hati.
“Maaf, Anda siapa? Ada keperluan apa kemari?” Prapto berusaha mengeliminasi ketidaksopanan pemuda itu saat mengeluarkan kalimat ini.
“Saya Aji Kresna Samaratungga kertaning jagad, panggil Aji. Kesini karena satu hal, meminta ijin Anda menginap disini selama kurang lebih dua minggu dalam rangka menganalisis kehidupan masyarakat di desa ini untuk bahan skripsi saya. Tadi saya ke kantor kepala desa dan pihak sana mempercayai Anda untuk meng-handle kebutuhan saya selama disini.”
Prapto shock.
Apa-apaan ini? Ia seakan pembantu saja. Harus melayani anak orang kaya yang terlihat sengak ini. Bukan terlihat sengak lagi, tapi memang benar-benar sengak dan sombong tak kepalang tanggung.
“Bagaimana pak?” Aji mencondongkan tubuhnya, mendesak.



Akhir bulan . . .
Sudah sepuluh hari Aji menginap dirumah Prapto. Prapto dengan penuh kesabaran menahan diri untuk tidak memukul anak kota itu, karena siapapun pasti punya pikiran yang sama dengannya, untuk menghabisi Aji. Prapto baru sekali ini mengenal orang yang benar-benar menyebalkan seperti Aji. Dia harus melayani dan menyediakan apa yang pemuda tengik itu inginkan. Dari membelikan makanan semacam hamburger, pizza, dan kawannya yang sudah jelas belum pernah dinikmati Prapto selama hidupnya sampai membelikan celana dalam untuk Aji. BAYANGKAN!! Kemana harga diri Prapto sebagai laki-laki? Dan itu ia lakukan hampir setiap hari, dia harus naik turun gunung dengan sepeda motor bututnya untuk memenuhi kebutuhan wong edan satu itu. Prapto hanya bisa diam. Dia hanya menjerit di dalam hatinya, dia tidak bisa mengeluarkannya walau hanya sedikit, itulah Prapto. Pria yang menyimpan rapat semuanya. Prapto terpaksa melakukannya hanya karena Sutinah. Ya benar. Karena jika ia tidak melaksanakan tugasnya dengan baik maka ia akan dengan sukarela dicopot dari jabatannya sebagai sekreataris desa. Ayah Aji adalah seorang pejabat sukses di kota sana, dan dengan mudah mampu membolak-balikkan takdir rakyat kecil seperti Prapto. Jika ia tidak punya pekerjaan, apa yang akan ia gunakan untuk menghidupi kekasih hatinya nanti? Bagi Prapto, Sutinah adalah perhiasan hidupnya yang sederhana.
Namun anehnya, Tinah tidak sekalipun terlihat masam jika bertatap muka dengan Aji. Bahkan dari kacamata Prapto, Tinah tidak pernah menunjukkan ekspresi itu selama menikah dengannya. Ia menjadi murah senyum, banyak mengeluarkan lelucon, bahkan tertawa lepas. Wajah Tinah yang asli ayu, menunjukkan sang empunya masih berusia belia yaitu 22 tahun, yang biasanya tanpa sapuan make up sekarang menjadi kemerah-merahan karena beberapa alat rias menempel indah disana. Bibirnya yang mungil namun penuh terlihat menggantung lembut, baju kebangsaannya pun berganti jenis, yang dulu hanya daster kusam sekarang berubah menjadi rok selutut dengan kemeja warna cerah rapi, benar-benar membuat Prapto betah dirumah. Tapi Prapto merasa itu semua bukan untuk dirinya. Untuk Aji.
“Dik, suka dengan Aji?” tembak Prapto langsung tanpa memberi kesempatan Tinah untuk menghembuskan nafas berikutnya.
“APA?” mata Tinah seakan ingin melompat dan bebas dari rongganya.
“Akui saja, sebelum semuanya terlambat!” Prapto menahan hatinya yang serasa kelu. Dia adalah pria yang tidak bisa berbasa-basi dan pria yang hanya berbicara tentang apa yang perlu dibicarakan.
“Mas ini bercanda ya? Guyonnya ndak mutu sama sekali. Hhaha...” tawa Tinah sumbang. Menunjukkan apa yang terjadi sebenarnya.
“Mas Prapto tolong belikan flashdisk 4 Gb ya? Punyaku rusak. Cepat! Sekarang juga. Penting untuk tugasku. Ini uangnya. Kalau nanti sisa sekalian saja belikan martabak spesial di perempatan Langsep. Aku sedang ingin itu. Biar konsentrasi lagi.” Aji tiba-tiba muncul dan memulai perannya sebagai bos kelas tongkol. Ia mengangsurkan uang 300 ribu rupiah, dengan sengaja dan terlihat dibuat-buat ia menjatuhkan uang itu.
“Ups, maaf.” Lirih mencekik suara Aji.
Prapto mengambilnya dengan gerakan santai, sudah terlalu sering ia diperlakukan semacam ini.
Hhhhhhh , tugasku. Prapto berjalan keluar dan deru motor bututnya mengiringi jalanan desa yang sepi itu. Tinggal mereka berdua disana, Aji dan Tinah.
“ Sayang kamu kenapa sih kok tidak cepat-cepat cerai sama si Prapto itu? Masak aku harus menunggu kamu untuk waktu yang tidak ditentukan? Bisa capek aku.” Aji mendekati Tinah. Tinah duduk di sofa tua disebelah Aji. Mereka benar-benar seperti suami istri yang baru menikah dua bulan lalu, mesra sekali.
“Mas yang sabar dong, kalau Prapto nanti mengajakku pergi dari sini dan aku tidak mau, aku bisa menjadikannya alasan untuk bercerai, aku bilang saja kalau dia sudah terlalu banyak menekanku dan memaksakan kehendaknya kepadaku. Itu kan termasuk penekanan mental, aku bisa cerai dengan dia.” Senyum Tinah terkembang membingkai wajahnya yang terlihat sangat cantik pagi ini. Aji memperhatikannya, benar-benar wanita yang penuh pesona, keluhnya dalam hati. Baru pertama kali ini ia menemukan wanita yang mampu mengetuk relungnya yang telah jauh hari kekeringan, kekurangan cinta.
“Suamimu itu bisa-bisanya percaya sama Mbah Marijan. Padahal dari data para ahli yang setiap hari siaga di pos Merapi bilang kalau Merapi aman. Benar-benar pembual. Dan Prapto mau saja dikibuli. Ya ampun, kemana isi otak laki-laki yang sepertinya kau banggakan itu? Dimakan ngengat? Hahaha.” Aji mencibir. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Prapto.
“ Nah itu dia. Aku juga tidak setuju dengan apa yang selama ini dilakukan suamiku. Aku akhirnya bisa bernafas lega karena ada mas Aji yang sejalan denganku. Mungkin karena itu aku jatuh cinta dengan mas. Aku sudah lama merasa jenuh dengan hubungan kami yang tidak sehat. Prapto seperti lebih mempercayai Mbah Marijan daripada aku. Itu memalukan!” Tinah tersipu seperti ABG yang baru pertama kali jatuh cinta.
“ Mungkin saja, makanya cepat urus perceraianmu dengannya. Aku tidak mau menunggu terlalu lama. Aku ingin cepat-cepat memilikimu. Nanti aku akan mengajakmu ke Bali, dan kita akan bersenang-senang disana.” Aji membayangkan apa yang sudah ia rencanakan. Jika Tinah nanti bercerai dengan Prapto, ia akan memboyong Tinah ke Bali. Ia berencana meneruskan usaha ayahnya di Bali. Hidup tentram bersama wanitanya, Tinah.
Aji membelai rambut Tinah yang tidak pernah tersentuh bahan kimia dari salon manapun, kemudian dengan gerak perlahan Aji mengecup kening Tinah yang tidak dihalangi sehelai pun rambutnya yang panjang sepinggang...



Tanijah berlari seperti atlit marathon yang dijanjikan akan mendapat hunian di tengah kota idaman keluarga Indonesia (seperti iklan saja..) jika mampu memutus pita biru di garis finish, tergesa-gesa dengan banyak ekspresi memaksa di wajah ovalnya. Dia bahkan menabrak kandang ayam yang jelas-jelas terlihat begitu besar dan berdiri rapi di sebelah sebuah rumah, kakinya tersandung ban mobil rusak, dan kepalanya terantuk papan bertuliskan “Las Listrik” yang dengan segera membentuk benjolan besar serta berwarna ungu pesakitan.
Dadanya sesak. Keringat sebesar isi jambu air keluar dari sela-sela pori. Apa yang baru disaksikan dan didengar dengan telinganya sendiri-dia tidak meminjam telinga siapapun-membuat seluruh syaraf yang dipasang Tuhan dengan kesempurnaan tiada batas, mengejang. Semacam orang ayan sekaligus tersengat listrik di London saat klimaks musim dingin.
Ya Allah. Apa yang sudah saudara iparnya perbuat? Tanijah bergeming sesaat lamanya. Sampai Saniyem menepuk bahunya yang telanjang karena kaos lusuh penuh keringat miliknya melorot begitu saja tanpa ia sadari.
“Mbak yu kenapa sih? Kok gelesotan begini?” Saniyem menatapnya tidak mengerti. Kakak kandungnya terlihat menyedihkan. Dia terduduk di sebelah rumahnya, di atas tanah. Tertunduk layu.
“Tinah ...” Tanijah menyahut lirih.
“kenapa Tinah?” Saniyem semakin tidak mengerti. Ia membimbing kakaknya ke dalam rumah
“Dia selingkuh dengan pemuda kota itu!” sesampainya ia dirumah. Membuat Tanijah semakin terpukul dan membangkitkan Saniyem dari duduknya yang tadinya nyaman menjadi sekaku papan yang terendam air es kutub selatan.
“HAH??? Itu tidak mungkin!” Saniyem memandang kakaknya seakan kakaknya pembawa malapetaka di lereng Merapi. tergugu di tempatnya, kekecewaan menusuk ulu hatinya, ya Rabb... kenapa iparnya bisa melakukan hal yang hina semacam itu? Padahal kakaknya, Suprapto benar-benar mencintainya sepenuh hati tanpa mengharapkan imbalan apa-apa, kecuali kesetiaan tentu saja.
Dengan diliputi kemarahan dan kekecewaan yang tidak mampu dia ungkapkan sekarang, Tanijah menceritakan apa yang ia lihat tadi dirumah Prapto. Ketika dia datang kerumah Prapto, hendak meminta terasi untuk tambahan membuat sambal, dia melihat Tinah sedang bermesraan dengan Aji. Bahkan Tanijah mendengarkan semua pembicaraan antara mereka berdua. Tanijah bercerita dari arah timur sampai paling barat, detil sedetil-detilnya.
Mendengar itu semua, Saniyem terdiam lama. Suasana begitu hening. Padahal hari masih siang. Mereka berdua bingung harus melakukan apa. Pikiran mereka seakan tidak memiliki ujung yang tetap, tidak memiliki prinsip yang selalu mereka agungkan selama ini.
Mereka tidak sadar saat seseorang memasuki ruangan, seseorang yang benar-benar memiliki ikatan kuat dengan apa yang mereka perbincangkan tadi. Suprapto.
Tanijah dan Saniyem melakukan hal bodoh untuk menutupi kegugupan dan ketidaksiapan mereka. Tanijah tiba-tiba saja jongkok berakting sedang mengepel lantai, meraih kain didekatnya-yang baru diketahuinya bahwa itu adalah serbet kotor untuk mengelap oli motor suaminya-, dan fakta yang mendukung tindakan bodohnya adalah bahwa lantai rumahnya terbuat dari tanah. Tidak ada ubin untuk dipel.
Sedangkan Saniyem lebih bodoh lagi, dia pura-pura tertidur. Dia dengan PDnya merebahkan diri di atas timbunan berkarung-karung jagung baru panen, berselimutkan karung goni, dan di atas tubuhnya terdapat sebuah payung hitam seakan dia mayat tak diurus.
Prapto melihat kedua adik kandungnya yang menghuni rumah di sisi kiri kanan rumahnya dengan senyum kecut, mengaku sudah dewasa tapi kelakuannya seperti balita. Dia bingung, Tanijah berusia 23 tahun dan Saniyem 19 tahun, tapi jika dilihat dari apa yang terpampang di depan hidungnya sekarang, mereka berdua terlihat masih 5 tahunan.
“Ada apa?” Prapto bertanya. Tanpa melihat keduanya ia mengambil kursi di belakang Tanijah untuk duduk.
“Mmmm. Itu... anu ...” Tanijah berdiri kikuk, Saniyem jangan ditanya. Posisi tidurnya berganti menjadi posisi telentang. Menghadap langit, seakan disana terdapat tulisan yang bisa dibacakannya untuk Prapto.
“Tolong!” Prapto menjelajah mata Tanijah dan Saniyem satu persatu. Mereka berdua tahu. Ini adalah waktunya untuk bicara jujur.
Dan cerita perselingkuhan yang menyakitkan itu meluncur deras seakan tiada kata berhenti. Berhenti hanya sebentar saja untuk mengambil udara milik Tuhan, ya hanya sebentar saja karena Prapto sudah melesat meninggalkan mereka berdua disana dalam keadaan tak terurai klausa panjang. Bahkan klausa yang benar-benar pendek sekalipun.


“SUTINAHHHHH!!! WANITA SUNDAL!” teriak Prapto menggelegar.
Tinah dan Aji yang sedang berpegangan tangan langsung membebaskan tangan masing-masing. Mereka kaget luar biasa. Sama seperti Prapto. Dia tidak percaya akan apa yang ia lihat. Hatinya seperti dirobek. Jantungkan dikeluarkan paksa. Dan paru-parunya disumbat rasa kecewa, cemburu, bahkan nafsu ingin membunuh.
Prapto berada di sebelah pintu dapur yang searah dengan pintu ruang tamu, Aji sudah berada disana, disamping pintu ruang tamu yang tertutup. Sedangkan Tinah berada di tengah-tengah para adam, memeluk dirinya sendiri yang seperti menggigil kedinginan karena perasaan bersalah. Bukan! Dia merasa berdosa tapi lega dalam satu waktu.
“Apa yang sudah kalian lakukan?” Prapto mendesis, parau.
“Kau tidak lihat tadi? Tentu saja kami sedang bercinta. Memang kau pikir kami sedang main layang-layang?” Aji menjawab di seberang ,menantang.
Prapto menatap Sutinah tajam, seakan menelanjanginya. Tidak menggubris apa yang dikatakan Aji.
“Kau wanita tak punya harga, apa yang sudah merasuki istriku yang berhati mulia? Sampai tega menusukku dengan tulang rusukku sendiri. Benar-benar ...” dia menangis tertahan, tanpa suara. Penuh perasaan.
“Kita sudah tidak cocok lagi, kita tidak seharusnya bersama lagi. Aku benar-benar muak dengan semua sikapmu yang mendewakan si Marijan itu. Aku tidak mau serumah dengan orang sepertimu! Aku ingin kita cerai. AKU INGIN KITA CERAI!!!!!!” Tinah seakan menumpahkan semua yang ia pendam selama ini. Terlihat sudah lelah lahir batin. Dia ingin bebas. Dan Prapto yang mendengarkan itu hanya bisa terbujur kaku layaknya mumi yang akan diawetkan.
“Tapi kau tidak bisa melakukan hal ini kepadaku!” Prapto seperti tercekik.
BLEGARRRRRRRRRRRRRRRRR!!!
Terdengar suara yang memekakkan telinga. Yang mampu membuat telinga langsung tuli dalam sekejap. Mereka bertiga terhuyung ke belakang. Meraih apapun yang bisa dipakai untuk berpegangan, sementara tubuh mereka diguncang bumi. Ya, bumi bergetar hebat. Teriakan manusia-manusia menyatu saat itu juga. Suara apapun membaur, bersamaan, dan seperti direncanakan menjadi satu di udara Merapi yang membakar kulit dan otak manusia-manusia itu.
Terutama untuk Suprapto, Sutinah, dan Aji.
Mereka lupa apa yang mereka perbincangkan.
“TINAH RAIH TANGANKU, KITA HARUS CEPAT KELUAR DARI SINI! MERAPI SEDANG BERCANDA DENGAN KITA!” Prapto berteriak ke arah istrinya yang terlihat kebingungan diantara segala macam keributan yang terjadi.
Tinah dilema!!!!
Segera saja sebuah puing besar menghalangi langkah Tinah ke arah Prapto, jatuh tepat didepannya. Tinah menoleh kepada suaminya dengan leleran air mata yang tak kunjung usai. ia berlari meninggalkan Prapto. Tinah memegang tangan Aji. Mereka keluar pintu ruang tamu. Tanpa mereka sangka, lahar panas menyambut keduanya dengan bengis. Mereka berdua terseret lahar panas sambil berpelukan. Memberatkan langkah Prapto untuk meninggalkan rumahnya yang sebentar lagi akan diberangus isi perut Merapi.
Ironi.
Prapto seakan diputarkan film pendek tentang kehidupannya yang telah ia lewati selama 25 tahun terakhir. Saat ia bersekolah, saat ia memutuskan menikah dengan seorang wanita yang dianggapnya sebagai serpihan nyawanya yang baru saja ia temukan, dan 5 detik yang lalu membuat keputusan yang tak pernah Prapto prediksikan sebelumnya, Tinah meninggalkannya dengan pria lain di depan hidungnya. Tinah berpelukan dengan pria lain saat kematian menjemputnya. Padahal Prapto sering memimpikan malaikat Izrail memilih dirinya untuk mengisi kursi kosong kematian bersama Sutinah. Tapi, semua berakhir tragis. Menyedihkan. Memilukan
Prapto merasa dirinya melayang di atas tanah, pergi ke suatu tempat yang tidak ia ketahui...

Saat matanya beradu dengan cahaya yang mulai menusuk retina, Prapto membuka mata perlahan, terduduk secara tegang. Mencoba mengingat apa yang sudah terjadi sebelumnya. Dia menangis tersedu sedan. Meratapi apa yang sudah diingatnya. Meringkuk di bawah awan merapi yang hitam. Menyentuh begitu banyak padu padan benda, dari yang kasar sampai yang tak teraba.
“Mas Prapto, Mbak Tinah ditemukan. Mau langsung dimakamkan.” Saniyem bertutur lembut.
Prapto terdiam lama di depan liang lahat masal itu. Menyaksikan istrinya dikebumikan dengan apa adanya. Seperti cintanya yang selalu apa adanya pada Sutinah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar