BALADA, BULAN TERLIHAT DERAS

Padang bulan menjatuhkan tanya

Dan tiba-tiba mendung menutupi

Di atas kepala anak itu

Anak yang menelan malam

Yang tak bisa berucap padanya

Pada malam membutakan

            Padang bulan mati suri

Ia berlari ke arah ibunya yang cantik

Yang cantiknya hilang

Hilang bersama ayahnya, pergi

Dia berkata serak

Hanya geraman

Anak itu, di bawah bulan

Merajuk agar ayah kembali

                        Padang bulan belum berhenti

Berdua berjalan

Bergerak-gerak gelisah, mereka

Membelakangi sang bulan

Meniti jejak-jejak transparan

Dan bau ayahnya

Apakah ada ?

Gesekan daun di ruang jauh

Meniupkan jawaban

Mungkin saja ada

Mungkin tak ada

            Padang bulan beranak pinak

Jalan-jalan masih terlalu panjang

Kaki mereka mulai muncul karat

Dan tangan-tangan kanan kapalan

Sang bulan ada di titik tengah

Ayah masih sembunyi

Tak senyum, tak bau

Anak di bawah bulan

Ingin segera jumpa, cepat bercengkrama

Dia berlari sendiri

Dan seperti ayah, lenyap, tandas

            Padang bulan turun lagi

Ibunya berteman air mata

M’rana, bermuram durja

Suami, anak, setali dua uang

Kakinya hitam legam

Bernanah, tertancap tanah gelap

            Padang bulan belum sempat tertidur

            Saat mata ibu hampir turun

Ia menangkap di sudut sampah

Anaknya kumuh berkabung luka

Merintih, berjatuhan citanya

Didekapnya si anak di bawah bulan

Dihirupnya udara dalam paru-paru peraduan

Padang bulan biar padam

Dan jalanan tetap panjang

Panjang melelahkan

            Padang bulan, akhirnya berhenti

Di depan sebuah rumah bordil

Wanita berbusana dan tak berbusana

Melenggang tenang, acuh-tak-acuh

Dan ayahnya juga disana

Membonceng mereka

Harusnya..

Pulang..

Mereka dua .

Buta. Tengah malam. Siang. Air mata, deras ..

PADANG BULAN MENANGIS.