Bapak dan anak sedang berdebat .
Setya :
“Aku ingin mengambil sastra Indonesia, Pak! Bukannya kedokteran!”
Bapak :
“Hei, kau itu bagaimana! Bapakmu ini dokter. Jadi kau harus mau nurut sama
bapak. Jangan buat acara sendiri.” (berbicara dengan nada keras)
Setya :
“Tapi Pak ini hidup Setya. Setya sudah melaksanakan segala keinginan Bapak
selama ini. Setya hanya meminta sekali ini saja untuk memilih jalan Setya
sendiri. Setya mohon, Pak.”(mulai menangis)
Bapak :
“Bapak tidak mau tahu. Apapun alasanmu, kau harus masuk kedokteran! Kau mau
mempermalukan bapak apa? Masuk sastra itu hanya kandang pecundang, tidak ada
gunanya! Mau jadi apa kau?”
Setya :
“Setya hanya ingin jadi guru, Pak. Tidak lebih dari itu. Setya ingin seperti
almarhumah ibu. Setya hanya ingin berbagi. Berbagi ilmu, cerita, dan suka duka
pada murid-murid Setya nanti.”(terlihat mulai putus asa)
(hening)
Bapak :
”Pilih sastra atau jangan pernah kembali lagi.”
Setya :
(menangis tersedu-sedu) “Maafkan Setya, Pak.” (beranjak meninggalkan rumah
dengan menenteng tas besar)
Bapak :
(menitikkan airmata)
Di rumah yang lain. Anak dan ayah juga
sedang berdebat.
Setyo :
“Sastra Indonesia,Yah.”
Ayah :
“APA? Jurusan macam apa itu? Kau harus membuka cakrawala pikiranmu itu! Jangan
kolot dan mengambil jurusan yang aneh-aneh!”
Setyo :
“Sepertinya Ayah yang harusnya melakukan itu. Sastra bukanlah jurusan yang
tidak aku pikir matang-matang. Aku sudah lama menginginkannya.”
Ayah :
(murka) “Kurang ajar sekali kau Setyo! Kau tuduh Ayahmu ini tidak modern, kolot
dan tidak open mind? Heh! Buka matamu itu! Jangan buta! Aku ini
pengusaha sukses. Salah satu orang terkaya di Indonesia! Darimana kau dapatkan
bajumu itu? Handphone? Tempat tinggal yang megah? Makanan yang tidka
pernah murah? Sekolah terbaik dari TK sampai SMA?” (terengah-engah, mengambil
napas)
Setyo :
“Ayah.” (menatap ayahnya tajam)
Ayah :
“Kau benar-benar tidak tahu malu! Pergi dari sini tanpa membawa apapun jika kau
ingin sastra bedebah itu.”
Setyo :
“Baik. Aku pinjam ini sebentar saja.” (mengambil taplak meja, berdiri menuju
belakang sofa tinggi, melepas seluruh bajunya. Melilitkan taplak tadi ke
tubuhnya)
Ayah :
“Apa yang kau lakukan?” (terheran-heran)
Setyo :
“Ini baju yang ayah belikan. Salah satu barang yang tidak boleh aku bawa pergi.”
(melipat baju itu dan menaruhnya di meja depan Ayahnya)
Ayah :
“Ap..Apa?”
Setyo :
(pergi ke kamar)
Setelah lima belas menit berselang.
Setyo :
(membawa koper perjalanan dan berganti baju yang warnanya sudah memudar) “Aku
pergi. Maafkan aku. Dan ini … (meletakkan HP, laptop, dan beberapa barang
berharga lainnya di meja) adalah pemberian ayah, sudah lengkap. Terimakasih,
Ayah. (memeluk Ayahnya dan mencium kedua pipi serta tangannya) Maafkan Setyo.”
(pergi)
Ayah :
(berbisik dengan linangan airmata) “Apa yang sudah aku lakukan?”
Setiap bulan di depan klinik ..
Setya :
(mengintip) “Apakah bapak sudah makan? Apa dia sehat?”
Orang :
“Mbak sedang apa di sini? Maaf tapi Mbak menghalangi gerobak saya.”
Setya :
“Eh, maafkan saya Pak.” (menyingkir)
Orang :
“Ya sudah Mbak, tidak apa-apa.” (berjalan lagi sembari mendorong gerobak bakso)
Setya :
“Eh, eh Pak! Tunggu sebentar. Saya ingin membeli satu porsi bakso. Isinya bakso
daging saja dan mie putih. Jangan diberi apa-apa, Pak. Oh daun seledri sedikit
saja. Tapi begini Pak. (membuka dompet) ini baksonya dikirim ke klinik depan itu
ya. Bilang saja untuk Dokter Gahardian. Tapi jangan katakan siapa yang
memesankan. Oke?” (mengulurkan uang lima puluh ribu)
Orang :
“Waduh, banyak sekali Mbak. Bakso saya masih sepi, tidak ada kembalian.”
(merasa tidak enak)
Setya :
“Tidak apa-apa. Itu semua untuk Bapak. Pokoknya baksonya dikirim kesana ya.”
Orang :
“Iya, Mbak. Terimakasih.” (berseri-seri)
Setiap bulan di dalam bank ..
Setyo :
“Mbak, Transfer uang ya.”
Teller :
“Rajin sekali mas. Untuk orang di kampung ya.”
Setyo :
“Iya Mbak. Untuk Ayah saya—untuk mengganti uang yang sudah saya habiskan
selama saya hidup di bawah tanagn Ayah.”
Teller : “Benar-benar anak yang
berbakti. Jarang sekali ada anak yang seperti mas ini.” (menggoda)
Setyo :
“Mbak ini bisa saja. Membuat saya gede rasa nih.”
Teller :
(tersenyum) “ Sudah selesai mas, apa ada yang lainnya yang bisa saya bantu?”
Setyo :
“Tidak ada Mbak. Terimakasih.”
Teller :
“Sama-sama, Mas.”
Suatu siang di bulan ke 48, di depan
klinik ..
Setya :
(mengintip)”Kenapa kliniknya sepi? Apakah terjadi sesuatu dengan Bapak? Oh,
jangan sampai darah tingginya kumat. Ya Allah, lindungilah Bapak.”
Bapak :
(di belakang Setya) “Bapak tidak apa-apa, Nduk.”(tersenyum ramah)
Setya :
(kaget luar biasa) “Bapak??”
Bapak :
“Bagamana? Kapan Bapak harus menghadiri wisudamu?”
Setya :
(menyerahkan undangan dengan tangan gemetar.)”Pak?”
Bapak :
“Ya?”
Setya :
“Bapak akan datang?”
Bapak :
“Tentu, Nak!” (dipeluknya Setya)
Di depan Bank ..
Setyo :
(Berjalan masuk, tapi dihalangi seseorang yang memakaihitam-hitam) “Maaf,
permisi.”
Ayah :
“Tidak perlu mengirimi aku lagi, uangku sudah terlalu banyak. Bisa-bisa bank di
seluruh dunia tidak akan menerima uangku lagi.”(membuka masker wajah)
Setyo :
“Ayah? (shock) Anda ayahku?”
Ayah :
“Ya. Bagaimana kabar sastra?” (tersenyum lebar)
Setyo :
“Aku..Ayah..Aku..Sastra..” (wajahnya memerah senang)
Ayah :
“Ayah pikir calon sarjana sastra tidak seharusnya gagap seperti itu.”
Setyo :
(menggeleng-gelengkan kepala) “Aku.. itu.. Ayah.. Sastra..”(terlihat mulai
frustasi)
Ayah :
“Sudah-sudah. Ayo kita ngopi saja.” (menyeret Setyo ke arah starbucks)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar