BERMIMPILAH !

DAN PADA BAYANG-BAYANG YANG JATUH DI SELASAR SAAT HUJAN..
PADA DIRIKULAH, AKU TERBANG..
MENGEMBANGKAN SAYAP PEMBERIAN..
MENDAKI KEDALAMAN, BERTARUNG DENGAN MALAPETAKA..
AKULAH, SEORANG BIASA..
DENGAN MIMPI-MIMPI DI LUAR BATAS KEPALA..

1 Nov 2012

DANGKAL SAJA, TERNYATA



Bapak dan anak sedang berdebat .
Setya    : “Aku ingin mengambil sastra Indonesia, Pak! Bukannya kedokteran!”
Bapak   : “Hei, kau itu bagaimana! Bapakmu ini dokter. Jadi kau harus mau nurut sama bapak. Jangan buat acara sendiri.” (berbicara dengan nada keras)
Setya    : “Tapi Pak ini hidup Setya. Setya sudah melaksanakan segala keinginan Bapak selama ini. Setya hanya meminta sekali ini saja untuk memilih jalan Setya sendiri. Setya mohon, Pak.”(mulai menangis)
Bapak   : “Bapak tidak mau tahu. Apapun alasanmu, kau harus masuk kedokteran! Kau mau mempermalukan bapak apa? Masuk sastra itu hanya kandang pecundang, tidak ada gunanya! Mau jadi apa kau?”
Setya    : “Setya hanya ingin jadi guru, Pak. Tidak lebih dari itu. Setya ingin seperti almarhumah ibu. Setya hanya ingin berbagi. Berbagi ilmu, cerita, dan suka duka pada murid-murid Setya nanti.”(terlihat mulai putus asa)
(hening)
Bapak   : ”Pilih sastra atau jangan pernah kembali lagi.”
Setya    : (menangis tersedu-sedu) “Maafkan Setya, Pak.” (beranjak meninggalkan rumah dengan menenteng tas besar)
Bapak   : (menitikkan airmata)

Di rumah yang lain. Anak dan ayah juga sedang berdebat.
Setyo   : “Sastra Indonesia,Yah.”
Ayah    : “APA? Jurusan macam apa itu? Kau harus membuka cakrawala pikiranmu itu! Jangan kolot dan mengambil jurusan yang aneh-aneh!”
Setyo   : “Sepertinya Ayah yang harusnya melakukan itu. Sastra bukanlah jurusan yang tidak aku pikir matang-matang. Aku sudah lama menginginkannya.”
Ayah    : (murka) “Kurang ajar sekali kau Setyo! Kau tuduh Ayahmu ini tidak modern, kolot dan tidak open mind? Heh! Buka matamu itu! Jangan buta! Aku ini pengusaha sukses. Salah satu orang terkaya di Indonesia! Darimana kau dapatkan bajumu itu? Handphone? Tempat tinggal yang megah? Makanan yang tidka pernah murah? Sekolah terbaik dari TK sampai SMA?” (terengah-engah, mengambil napas)
Setyo   : “Ayah.” (menatap ayahnya tajam)
Ayah    : “Kau benar-benar tidak tahu malu! Pergi dari sini tanpa membawa apapun jika kau ingin sastra bedebah itu.”
Setyo   : “Baik. Aku pinjam ini sebentar saja.” (mengambil taplak meja, berdiri menuju belakang sofa tinggi, melepas seluruh bajunya. Melilitkan taplak tadi ke tubuhnya)
Ayah    : “Apa yang kau lakukan?” (terheran-heran)
Setyo   : “Ini baju yang ayah belikan. Salah satu barang yang tidak boleh aku bawa pergi.” (melipat baju itu dan menaruhnya di meja depan Ayahnya)
Ayah    : “Ap..Apa?”
Setyo   : (pergi ke kamar)
Setelah lima belas menit berselang.
Setyo   : (membawa koper perjalanan dan berganti baju yang warnanya sudah memudar) “Aku pergi. Maafkan aku. Dan ini … (meletakkan HP, laptop, dan beberapa barang berharga lainnya di meja) adalah pemberian ayah, sudah lengkap. Terimakasih, Ayah. (memeluk Ayahnya dan mencium kedua pipi serta tangannya) Maafkan Setyo.” (pergi)
Ayah    : (berbisik dengan linangan airmata) “Apa yang sudah aku lakukan?”

Setiap bulan di depan klinik ..
Setya    : (mengintip) “Apakah bapak sudah makan? Apa dia sehat?”
Orang  : “Mbak sedang apa di sini? Maaf tapi Mbak menghalangi gerobak saya.”
Setya    : “Eh, maafkan saya Pak.” (menyingkir)
Orang  : “Ya sudah Mbak, tidak apa-apa.” (berjalan lagi sembari mendorong gerobak bakso)
Setya    : “Eh, eh Pak! Tunggu sebentar. Saya ingin membeli satu porsi bakso. Isinya bakso daging saja dan mie putih. Jangan diberi apa-apa, Pak. Oh daun seledri sedikit saja. Tapi begini Pak. (membuka dompet) ini baksonya dikirim ke klinik depan itu ya. Bilang saja untuk Dokter Gahardian. Tapi jangan katakan siapa yang memesankan. Oke?” (mengulurkan uang lima puluh ribu)
Orang  : “Waduh, banyak sekali Mbak. Bakso saya masih sepi, tidak ada kembalian.” (merasa tidak enak)
Setya    : “Tidak apa-apa. Itu semua untuk Bapak. Pokoknya baksonya dikirim kesana ya.”
Orang  : “Iya, Mbak. Terimakasih.” (berseri-seri)

Setiap bulan di dalam bank ..
Setyo   : “Mbak, Transfer uang ya.”
Teller   : “Rajin sekali mas. Untuk orang di kampung ya.”
Setyo   : “Iya Mbak. Untuk Ayah saya—untuk mengganti uang yang sudah saya habiskan selama saya hidup di bawah tanagn Ayah.”
Teller   : “Benar-benar anak yang berbakti. Jarang sekali ada anak yang seperti mas ini.” (menggoda)
Setyo   : “Mbak ini bisa saja. Membuat saya gede rasa nih.”
Teller   : (tersenyum) “ Sudah selesai mas, apa ada yang lainnya yang bisa saya bantu?”
Setyo   : “Tidak ada Mbak. Terimakasih.”
Teller   : “Sama-sama, Mas.”

Suatu siang di bulan ke 48, di depan klinik ..
Setya    : (mengintip)”Kenapa kliniknya sepi? Apakah terjadi sesuatu dengan Bapak? Oh, jangan sampai darah tingginya kumat. Ya Allah, lindungilah Bapak.”
Bapak   : (di belakang Setya) “Bapak tidak apa-apa, Nduk.”(tersenyum ramah)
Setya    : (kaget luar biasa) “Bapak??”
Bapak   : “Bagamana? Kapan Bapak harus menghadiri wisudamu?”
Setya    : (menyerahkan undangan dengan tangan gemetar.)”Pak?”
Bapak   : “Ya?”
Setya    : “Bapak akan datang?”
Bapak   : “Tentu, Nak!” (dipeluknya Setya)

Di depan Bank ..
Setyo   : (Berjalan masuk, tapi dihalangi seseorang yang memakaihitam-hitam) “Maaf, permisi.”
Ayah    : “Tidak perlu mengirimi aku lagi, uangku sudah terlalu banyak. Bisa-bisa bank di seluruh dunia tidak akan menerima uangku lagi.”(membuka masker wajah)
Setyo   : “Ayah? (shock) Anda ayahku?”
Ayah    : “Ya. Bagaimana kabar sastra?” (tersenyum lebar)
Setyo   : “Aku..Ayah..Aku..Sastra..” (wajahnya memerah senang)
Ayah    : “Ayah pikir calon sarjana sastra tidak seharusnya gagap seperti itu.”
Setyo   : (menggeleng-gelengkan kepala) “Aku.. itu.. Ayah.. Sastra..”(terlihat mulai frustasi)
Ayah    : “Sudah-sudah. Ayo kita ngopi saja.” (menyeret Setyo ke arah starbucks)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar