Di
sebuah teras yang sejuk, duduklah mereka dua itu, satu memangku yang lainnya .
Orang : “Ah, masalah dalam hidup seperti tak ada
selesai-selesainya. Teruus saja ada, tak mau berhenti.”
Buku : “Bah! Bicara apa kau ini Wong,
Wong. Kalau tidak ingin mendapat masalah, baiknya kau mati saja.” (sambil
menggerakkan beberapa helai kertasnya yang terlihat usang)
Orang : “Ih! Tak sopan sekali kau bicara seperti
itu. Tahu apa kau tentang masalah hidup. Kau hanya bisa dipajang di toko-toko
loakan dan hanya akan keluar jika ada seorang anak frustasi tentang memilih
buku matematika atau fisika, dan memilihmu karena dua pilihan itu terlihat
mengerikan!”(mulai tersinggung)
Buku : “Jangan terlalu banyak berkhayal. Aku ini
tentu saja lebih berpengalaman darimu. Kau lahir tahun berapa?”
Orang : “Tahun 1949. Sekarang usiaku sudah 63 tahun,
tahu!”
Buku : “Puih, masih muda kau itu!”
(terdengar sesumbar)
Orang : “Apa maksudmu, Heh? Memangnya kau lebih tua
dari aku?”
Buku : “Tentu saja. Buka saja aku. Dasar kau ini
sudah lama memilikiku masih saja tak pernah menyentuhku untuk dibaca, hanya
dijadikan teman curhat saja.”
Orang : (membuka buku pada halaman pertama) “Hmmm…”
Buku : “Tuh, benar kan? Kau saja yang terlalu
merasa bahwa kau lebih tahu segalanya daripada aku. bahkan sepuluh tahun lebih
tua darimu. Jangan pernah bicara tentang pengalaman hidup dan menyingkirkanku
dari pembicaraan semacam itu. Aku tahu semuanya.”
Orang : “Baiklah kau menang saat ini. Aku percaya
kau lebih tua dan lebih tahu dari aku.” (melengos untuk menutupi rasa malu)
Buku : “Memang apa masalahmu?”
Orang : “Aku ini sudah berumur tapi belum juga
dikaruniai cucu. Anakku satu-satunya belum juga menunjukkan tanda-tanda
kehamilan. Padahal dia sudah menikah selama lima belas tahun lebih. Bayangkan!
selama itu mereka dapat bertahan tanpa adanya anak.” (menggelengkan kepala)
Buku : “Mungkin itu yang disebut cinta sejati.
Anak kan titipan dari Tuhan. Mungkin Tuhan belum percaya pada mereka. Hanya
masalah waktu saja.” (percaya diri)
Orang : “Benar juga katamu.tapi aku benar-benar
ingin menimang cucu seperti kebanyakan teman-temanku sekarang. Aku tidak habis pikir
dengan keadaan ini.”
Buku : “Suruh saja periksa mereka berdua, mungkin
ada yang mandul.”
Orang : “Mandul? Hmmm…aku akan mengatakan ini pada
mereka.”
Dua
hari berselang, mereka duduk bersama lagi seperti sore itu.
Buku : “Kenapa wajahmu suram begitu? (berhenti
sejenak sembari memperhatikan Orang)Bagaimana dengan anakmu?”
Orang : “Benar, dia mandul. Aku tidak menyangka akan
mendapatkan berita buruk ini. Aku tidak mungkin mendapatkan cucu.” (terisak)
Buku : “Ah, jangan menangis begitu. Aku punya
saran lainnya. Tenang saja. Aku kan serba tahu.” (bergerak-gerak, menyingkirkan
debu yang menempel pada sampulnya)
Orang : “Kau punya saran apa lagi untukku?”
Buku : “ Bagaimana kalau program bayi tabung?”
Orang : “Tapi anakku mandul, apakah berhasil?”
Buku : “Ya, aku tidak tahu pasti, kan aku bukan
buku tentang masalah anak dan wanita, atau tentang bayi tabung.”
Orang : “Katanya kau serba tahu?”
Buku : “Eh,itu … sudahlah! Bagaimana? Bayi
tabung?”
Orang : “Aku tidak punya uang.”
Buku : “Ah, sayang sekali.”
Orang : “Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar
ingin memiliki cucu darinya.”
(mereka
berdiam diri cukup lama, berpikir)
Buku : “Aku ada saran yang cukup mudah untuk kau
lakukan, tapi belum tentu mudah untuk anakmu.”
Orang : “Apa? Apa?” (tersenyum antusias)
Buku : “Setelah mendengar ini, jangan pernah
salahkan ideku ya. Kau percaya padaku kan? Aku selalu tahu lho…”
Orang : “Iya, aku tidak akan menyalahkanmu atau
marah padamu.”
Buku : “Janji?”
Orang : “Janji!”
Buku : “Dekatkan aku pada telingamu. Aku tidak
ingin ada orang yang tahu tentang hal ini.”
Orang : “Baik.” (mendekatkan buku pada telinganya
sendiri)
Buku : “Ssssss…”
Orang : “APAA? Kau gila ya?”
Buku : “Katanya kau tidak akan marah? Itu kan
hanya ide. Tidak mau menggunakannya juga tidak apa-apa. Keputusan ada di
tanganmu.”
Orang : (termenung)
Sepuluh
bulan kemudian ..
Orang : “Hahha.. aku sekarang sudah punya cucu. Kau
memang serba tahu. Terimakasih, Buku!”
Buku : “Sama-sama. Sekarang kau tahu dan percaya
kan kalau aku lebih tahu darimu?” (sombong)
Orang : “Iya, maafkan aku karena meremehkanmu.
Terimakasih banyak untuk yang ini. Aku senang sekali.”
Tiba-tiba
ada suara tangisan dari seseorang yang berjalan mendekat sembari menggendong
bayi .
Anak : “Ini, cucu yang ayah minta!”(menangis
hebat)
Orang : “Kenapa kau menangis, Nak? Ada Apa?
Seharusnya kau kan bahagia karena anak ini.” (melihat si bayi yang sekarang
berada dalam gendongannya, dahinya berkerut bingung)
Anak : “Demi ayah, demi anak ini, dan demi buku
sialan di pangkuanmu itu aku rela dimadu. Sekarang kau sudah mendapatkan cucu.
Aku mendapat talak tiga tepat setelah bayi itu lahir. Dia lebih memilih wanita
itu, kau tahu! Apa kata Ayah dulu tentang pernikahan sebentar dan dia tidak
akan melirik wanita biasa-biasa saja itu? BULLSHIT! Ambil bayi itu. Aku
akan pergi dari sini.” (berlari menjauh)
Orang : (masih mematung)
Buku : (sampulnya berubah warna menjadi abu-abu pucat,
persisi seperti wajah Orang)
Orang : (berdiri menuju halaman depan, mengambil
korek api dari saku)”Terimakasih atas saranmu yang luar biasa, Tuan Serba
Tahu.”
Buku : “Tidak (serak), kau tidak akan melakukan
itu padaku. TIDAK! TIDAAAAK!!!”
Orang : (menyalakan api, membakar buku dengan bayi
dalam gendongannya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar